Powered By Blogger

Selasa, 06 Desember 2016

ABFRAKSI, ABRASI, BIOKOROSI DAN ENIGMA LESI SERVIKAL NONKARIES: PERSPEKTIF 20-TAHUN



ABFRAKSI, ABRASI, BIOKOROSI DAN ENIGMA LESI SERVIKAL NONKARIES: PERSPEKTIF 20-TAHUN
(Abfraction, Abrasion, Biocorrosion, and the Enigma of Noncarious Cervical Lesions: A 20-Year Perspective)
JohnO. Grippo, DDS, Marvin Simring DDS, Thomas A. Coleman, DDS

ABSTRAK
            Dua dekade terakhir telah memberikan sejumlah penelitian baru  mengenai lesi ini. Sebagian besar penelitian telah diuraikan dan digunakan dalam pendekatan praktis untuk memahami dan menunjukkan lesi ini. Pergeseran paradikma menunjukkan bahwa penggunaan istilah “biokorosi” untuk menggantikan “erosi” terus salah digunakan di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain di dunia. Biokorosi mencakup degradasi kimia, biokimia dan elektrokimia substansi gigi yang disebabkan oleh asam endogenous dan eksogenous, agen proteolytic, serta efek piezoelektrik pada dentin. Abfraksi, menunjukkan kehilangan mikrostruktural substansi gigi pada daerah konsentrasi stress, yang sebaiknya tidak digunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL karena lesi ini umumnya bersifat multifaktorial. Kata yang tepat untuk NCCL bergantung pada kombinasi spesifik tiga mekanisme utama: stress, friksi dan biokorosi, yang terjadi secara unik pada masing-masing kasus individual. Faktor modifikasi, seperti saliva, lidah, bentuk, komposisi, mikrostruktur, mobilitas dan posisi prominensia gigi dapat diabaikan.



MAKNA KLINIS
            Dengan melakukan riwayat medis dan gigi yang lengkap, penggunaan istilah dan konsep yang tepat, dan penggunaan Skema Mekanisme Pathodinamik yang telah direvisi, dokter gigi dapat mengidentifikasi dan melakukan perawatan etiologi lesi permukaan akar dengan tepat. Tindakan pencegahan dapat dilakukan jika faktor kausatif diketahui dan dengan mempertimbangkan faktor modifikasinya.

PENDAHULUAN
Sejak dimulainya masa kedokteran gigi modern, etiologi lesi servikal nonkaries (NCCL) telah dikatakan oleh beberapa dokter gigi disebabkan oleh abrasi sikat gigi/pasta gigi saja. Beberapa dokter gigi lain mengatakan bahwa lesi ini umumnya disebabkan oleh asam dan disebut “erosi”, lebih tepat disebut “biokorosi”, yang mencakup seluruh bentuk degradasi kimia, biokimia, dan elektrokimia. Setelah diperkenalkannya istilah abfraksi oleh Grippo pada tahun 1991 dan ditetapkan pada tahun 2004, untuk menunjukkan fraktur mikro substansi gigi pada daerah konsentrasi stress, istilah ini masih sering salah diartikan dan disalah gunakan. Penelitian menunjukkan pengaruh stress yang disertai oleh asam, dan protease enzimatik sebagai faktor dalam pembentukan NCCL. Efek piezoelektrik pada dentin juga telah dilaporkan. Penelitian juga menunjukkan bahwa stress dapat menjadi kofaktor dalam etiologi karies, khususnya karies servikal atau akar. Namun, istilah abfraksi telah menjadi “kata utama” dalam menunjukkan etiologi tunggal, dan sering disalah gunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL. Karena interaksi kompleks dari berbagai mekanisme ini – korosi (menyebabkan degradasi kimia), stress (ditunjukkan oleh abfraksi), dan friksi (dari abrasi sikat gigi/pasta gigi) – maka secara umum tidak tepat untuk mengatakan bahwa seluruh NCCL hanya disebabkan oleh satu mekanisme saja (Gambar 1, Tabel 1). Dokter perlu mempertimbangkan seluruh faktor etiologi dan faktor modifikasi sebelum menegakkan diagnosa atau melakukan perawatan jika diindikasikan.



Gambar 1. Skema mekanisme patodinamik yang telah direvisi.  Skema ini menunjukkan faktor etiologi pemicu dan yang memperburuk yang menyebabkan terbentuknya lesi permukaan gigi,
           
Konsentrasi stress yang disebabkan oleh tekanan oklusal dapat terjadi pada berbagai lokasi di gigi selama kontak interoklusal. Jenis aplikasi tekanan yang digunakan dalam kedokteran gigi adalah kompresi, tegangan, fleksi, dan shear. Tekanan oklusal menyebabkan stress, khususnya selama parafungsi, menyebabkan fatigue (kerusakan subpermukaan) substansi gigi dan terjadi tepat di bawah zona kontak, tapi pada kasus NCCL, jarak tersebut cukup jauh (Lawrence H. Mair, University of Central Lancashire, pembicaraan pribadi, 2007).




Stress yang dihasilkan dalam gigi tergantung pada besar, arah, frekuensi, daerah aplikasi, dan durasi tekanan, serta orientasinya terhadap aksis gigi, serta bentuk, komposisi, dan stabilitas gigi (Tabel 2). Dengan mempertimbangkan faktor ini, konsentrasi stress dapat berperan secara sinergis sebagai kofaktor baik dengan korrodent mikroba dan nonmikroba serta abrasive, untuk memicu lesi karies dan/atau nonkaries. 



Tribology, berdasarkan Mair “meneliti hubungan antara lubrikasi, friksi dan keausan. Dalam tribology, proses keausan utama adalah: keausan abrasif (penyikatan),  keausan adhesive (penarikan), keausan disebabkan oleh fatigue (retakan subkritikal), keausan fretting (pergeseran), keausan erosive (aliran cairan) dan keausan korosif (kelarutan). Jika salah satu permukaan adalah cairan atau gas, maka proses ini disebut erosi. Friksi adalah mikrodeformasi atom permukaan karena menyerap energy pergerakan kinetic.Karena molekul berusaha kembali ke posisi awal, maka molekul melepaskan energy yang baru tersimpan dalam bentuk panas. Diharapkan, panas ini dapat dihilangkan oleh pelumas yang merupakan faktor ketiga dalam tribos tribologi. – pelumas, friksi dan keausan. Jika panas tidak dihilangkan maka akan terjadi kerusakan, yang menyebabkan keausan gigi atau fraktur (Lawrence H. Mair, University of Central Lancashire, pembicaraan pribadi, 2007). Penyataan di atas menjelaskan peranan abrasi sebagai kofaktor dalam etiologi NCCL.




BIOKOROSI VERSUS EROSI
            Literatur kedokteran gigi terbaru dalam sejumlah negara sering menyatakan bahwa “erosi” merupakan kehilangan email dan dentin yang disebabkan oleh asam yang tidak berhubungan dengan bakteri.  Defnisi “erosi” ini tidak dapat menjelaskan, atau menghubungkan efek proteolisis dan piezoelektrik yang juga terlibat dalam degradasi biokimia dan elektrokimia substansi gigi. Penulis berpendapat bahwa “biokorosi adalah reaksi kimia, biokimia atau elektrokima yang menyebabkan degradasi molekular pada bagian penting dalam jaringan mahkluk hidup. Biokorosi gigi dapat terjadi oleh asam eksogenous kimia dan endogenous biokimia, oleh enzim, proteolytic biokimia dan juga efek piezoelektrik yang berperan pada matrik organic dentin, yang umumnya terdiri dari kolagen (Gambar 1). Sebab itu, seluruh istilah biokorosi sebaiknya menggantikan istilah “erosi”. Erosi bukan merupakan mekanisme kimia; namun, mekansime fisik yang menyebabkan keausan oleh frikso dari pergerakan cairan.
            Seperti yang dilaporkan oleh Lussi, email terdiri dari 85% bahan anorganik, yang umumnya terdiri dari hydroxyapatite dan mudah terdisintegrasi oleh asam. Dentin terdiri dari 33% bahan organic yang mudah terdegradasi oleh enzim proteolitik. SUmber enzim proteolitik ini (protease) dapat dihasilkan oleh mikroorganisme plak, dan berasal dari cairan crevicular gingiva. Meskipun asam dapat menyebabkan demineralisasi lapisan permukaan dentin, matriks organic dentin tidak dapat larut oleh air. Sebab itu, daerah permukaan yang terdemineralisasi dapat berperan sebagai pelindung difusi untuk membatasi perkembangan demineralisasi dan kehilangan jaringan keras.
             Dalam sebuah penelitian in vitro,  Schlueter dan rekannya menunjukkan bahwa enzim proteolitik dari perut (pepsin) dan pancreas (trypsin) dapat mengdegradasi matrik organic dentin yang terdemineralisasi. Mekanisme kerja kedua enzim ini secara signifikan lebih besar dibandingkan mekanisme enzim secara terpisah.  Enzim proteolitik ini dapat naik ke mulut jika seseorang menderita penyakit seperti gastroesophageal reflux disease (GERD), regurgitasi habitual atau bulimia nervosa yang ditandai oleh muntah yang picu oleh diri sendiri. Telah ditunjukkan bahwa pada hiatal hernia, yang sering ditemukan pada subjek berusia di atas 50 tahun, esophagus cenderung menjadi lebih pendek; sebab itu, mendorong perut ke daerah thorax. Hal ini meningkatkan kecenderungan asam lamb ung, enzim pencernaan dari pancreas dan protease empedu dapat naik ke mulut seperti pada GERD (William F. Erber, Gastroenterologist, Brooklyn, NY, pembicaraan pribadi, 2010). Dengan bertambahnya usia populasi Amerika, kami dapat mengatasi peningkatan epidemiologi dalam prevalensi biokorosi gigi.
            Biokorosi karies atau mikorba terjadi jika mikroorganisme berkembang dalam bentuk biofilm atau plak, yang biasanya bersifat kemoautotropik, yang bereaksi pada gigi dalam bentuk acidogenesis, sama seperti pada pembentukan karies. Karies gigi dipicu oleh dekalsifikasi asam hydroxyapatite, komponen anorganik email. Hal ini dilanjutkan oleh degradasi enzimatik pada protein email dalam jumlah yang relatif kecil (proteolisis). Kemudian, bakteri kariogenik menginvasi gigi dan terus masuk kedalam dan merusak email dan dentin, yang menyebabkan terbentuknya kavitas. Sebab itu, mekanisme acidogenesis ini (reaksi kima) dan proteolisis (reaksi biokimia) dengan tepat dapat disebut “biokorosi” atau sering disebut dengan karies.
            Penelitian telah menunjukkan bahwa reaksi elektrokimia efek piezoelektrik pada dentin juga terjadi. Yang menarik, email tidak memiliki sifat piezoelektrik. Telah ditunjukkan dalam sebuah penelitian bahwa efek ini mampu menghilangkan ion kalsium dari gigi.

MEKANISME GABUNGAN
            Meskipun hanya terdapat sedikit penelitian ilmiah mengenai stress statik biokorosi dan stress fatigue (siklis) biokorosi pada gigi, manifestasi klinis NCCL menunjukkan bahwa terjadi mekanisme gabungan (Gambar 2). Biokorosi - stress statis terjadi jika corrodent terdapat pada permukaan gigi, yang menahan beban tekanan,seperti pada clenching yang lama, deglutasi, atau selama perawatan ortodontik. Biokorosi- stress siklis (fatigue) terjadi jika terdapat corrodent, beban intermittent diaplikasikan, seperti bruxing, tapping oklusal parafungsional, clenching, atau pengunyahan. Prinsip thermodinamik menunjukkan bahwa aktivitas kimia dan biokimia (biokorosi) dipercepat jika terdapat stress.


Gambar 2. Pasien yang sering mengertakkan gigi dengan sindrom Sjogren yang menggunakan obat batuk asam citric untuk mengstimulasi aliran saliva. Atrisi oklusal, yang telah mengauskan cusp bukal premolar kedua, menunjukkan bruxism, serta jalur eksentrik, sebagai sumber signifikan stress yang dihasilkan dari tekanan beban oklusal. Geometri yang bervariasi, seluruhnya pada email, dari lesi servikal gabungan ini umumnya disebabkan oleh asam yang disertai oleh stress static dan fatigue. Namun, lesi ini disebut biokorosi/abrasive/abfraksi karena abrasi sikat gigi/pasta gigi memegang peranan kodestruktif minor dalam pembentukan lesi.



Gambar 3. Biokorosi/abfraksi lanjut pada #5, 6, 11-14, 27, 28, dan 29 disebakan oleh stress statik dan stress fatigue (siklis), dan konsumsi minuman asam tinggi yaitu bissap (sorrel) pada pasien dengan penyakit Hansen (leprosy). Fotografi diperoleh dari Babacar Faye, DDS Asst. Professor of Operative Dentistry, School of Odontolgy and Medicine, University of Dakar, Dakar, Senegal, Afrika. Pasien ini tidak menyikat giginya dan pada sebagian besar kasus tidak memiliki jari untuk memegang sikat gigi.


KOFAKTOR TAMBAHAN
            Abrasi/biokorosi berlangsung jika permukaan gigi dilapisi oleh asam atau corrodent proteolitik dan kemudian terabrasi oleh gesekan. Hal ini terjadi jika gigi disikat dengan pasta gigi segera setelah mengkonsumsi minuman asam, atau setelah muntah. Dengan kata lain, biokorosi yang terjadi pada tingkat mikrostruktural terjadi pada permukaan gigi yang kemudian terabrasi oleh sikat gigi/pasta gigi.
            Hal ini juga terjadi jika terdapat plak bakteri, menghasilkan asam dan protease, kemudian bereaksi pada permukaan gigi, khususnya dentin servikal. Biofilm ini dapat dihilangkan dengan abrasi (friksi) dari sikat gigi dan erosi (semprotan) dengan obat kumur pada saat berkumur. Kedua mekanisme ini akan mengurangi kehilangan mikrostrukutral substansi gigi yang lunak, sehingga menyebabkan terbentuknya NCCL pada dentin pada daerah servikal yang disebabkan oleh abrasi dan erosi (semprotan) yang berperan sebagai kofaktor.
            Efek erosive aliran air pada gigi, yang mencakup pergerakan, tidak signifikan. Namun, jika efek erosive asam terjadi, dimana seseorang mengkonsumsi minuman berkarbonasi atau pada saat muntah, erosi/biokorosi akan menyebabkan kehilangan substansi gigi. Telah dilaporkan bahwa erosi/biokorosi dapat juga terjadi oleh penggunaan obat kumur asam dalam jangka waktu yang lama.

PENYEBAB MULTIFAKTORIAL LESI SERVIKAL NONKARIES
            Sebelum diperkenalkannya istilah abfraksi oleh Grippo pada tahun 1991, sejumlah artikel menguraikan mengenai deformasi gigi, distribusi stress pada gigi, serta kehilangan substansi gii yang disebabkan oleh beban tekanan. Setelah dipublikasikannya hipotesa oleh McCoy, serta oleh Lee dan Eakle, bahwa stress “tensile” berperan dalam kehilangan email pada regio servikal, sejumlah penelitian mulai berfokus tipe stress spesifik ini. Tehnik photoelastik dan finite element analisis (FEA) telah membuktikan bahwa regio servikal adalah zona konsentrasi stress maksimum.
            Lucas dan Spranger pada tahun 1973 menerbitkan penelitian tekanan horizontal gigi selama pergerakan lateral rahang bawah. Beliau menunjukkan bahwa torsi dan translasi terjadi bersama-sama pada regio servikal gigi. Pada tahun yang sama, Spranger dan rekannya menjelaskan pembentukan lesi servikal sebagai kondisi multifaktorial yang mencakup stress, biokorosi dan friksi.
            Pada tahun 1985, Ott dan Proschel melaporkan perkembangan lesi permukaan gigi, yang beliau interpretasikan sebagai defek berbentuk baji dini. Penelitian beliau menghubungkan defek dengan terjadinya disfungsi oklusal.
            Tidak lama setelah itu, Grippo dan Masi membuktikan fleksi dengan menggunakan strain gauge pada gigi yang dipendam dalam  frame beban. Beliau juga melaporkan penelitian pertama mengenai biokorosi stress pada gigi; dimana terjadi peningkatan tingkat biokorosi kehilangan email jika gigi diberikan beban statik dalam lingkungan asam. Namun, kehilangan substansi gigi pada dentin dihitung pada penelitian tersebut. Beliau juga melaporkan efek piezoelektrik pada gigi yang diberikan beban secara statik dan siklis. Efek piezoelektrik ini (lebih dari 10-14 coulomb/Newton) cukup untuk memindahkan ion kalsium, sehingga berperan sebagai kofaktor dalam demineralisasi gigi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menegaskan observasi seminal ini.
            Sejal awal tahun 1990, sejumlah penelitian telah diterbitkan dengan pendapat yang bertentangan mengenai pembentukan NCCL. Sebagian besar anggapan berpusat pada oklusi, biomekanis tekanan oklusal dan stress dan tegangan yang dihasilkan. Penelitian FEA terbaru mendukung peranan stress pada regio servikal sebagai zona konsentrasi stress maksimum. Diharapkan, penelitian terbaru dengan menggunakan teknologi lanjut dapat memcahkan dilemma ini.
            Palamara dan rekannya, menggunakan asam lactic 1% (pH 4.5) untuk mengstimulasi kondisi plak gigi dalam beban yang berulang. Penelitian beliau menunjukkan bahwa jika beban siklis digabungkan dengan perendaman dalam asam, efek stress tensile dapat ditemukan pada email regio servikal. Hasil ini sesuai dengan penelitian klinis dan mendukung konsep biokorosi – stress statik dan biokorosi – stress fatigue (siklis) sebagai kofaktor pembentukan NCCL. Mekanisme ini juga menyebabkan lesi seluruhnya terjadi pada email, dengan lokaso dan geometri berbeda seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.
            Pada tahun 2005, Staninec dan rekannya melaporkan rangkaian penelitian fatigue-siklis in vitro pertama pada cantilever dentin manusia dengan dua lingkungan berbeda. Beliau menunjukkan bahwa stress mekanis dan nilai pH yang lebih rendah dapat mempercepat kehilangan material permukaan dentin. Hasil penelitian beliau menunjukkan mekanisme kegagalan (stress) fatigue fisik siklis yang digabungkan dengan biokorosi.
            Penelitian terbaru, Mishra dan rekannya, yang meneliti dentin sapi, yang mendapatkan stress dari beban statik yang digabungkan dengan pH rendah berhubungan dengan peningkatan demineralisasi subpermukaan pada batangan dentin dengan tepi yang difiksasi. Dalam penelitian yang serupa, beliau menyimpulkan bahwa stress gabungan dan pH yang lebih rendah mempercepat kehilangan permukaan pada balok dentin dengan ujung yang difiksasi, dimana pada gigi menunjukkan regio servikal, daerah konsentrasi stress.
            Noma dan rekannya menunjukkan bahwa retakan sementum berawal pada daerah cervix, setelah beban kompresif berulang, meluas hingga apeks akar. Beliau menyimpulkan bahwa pengaruh stress dari beban siklis oklusal dapat memicu fraktur fatigue pada permukaan akar. Hasil penelitian beliau mendukng anggapan bahwa NCCL dapat terbentuk jika ikatan molecular patah dan mikrofraktur (abfraksi) terjadi pada daerah konsentrasi stress
 


Gambar 4. A, Lesi servikal nonkaries multifaktorial pada premolar atas dan bawah menunjukkan efek stress fatigue (siklis), biokorosi, dan friksi dari sikat gigi/pasta gigi. Beban berlebih pada premolar disebabkan karena kurangnya panduan anterior (kaninus) tampak mempengaruhi foil emas yang telah mengalami perubahan permukaan. B, Pasien pada gambar 3A pada eksursi lateral kiri. Foil emas diletakkan oleh operator yang sama yaitu Professor of Operative Dentistry. Gigi posterior tertutupi oleh kaninus, sehingga meminimalkan efek stress. Foil tidak dipengaruhi oleh stress (abfraksi), sikat gigi/pasta gigi (abrasi), maupun (biokorosi) dari asam.


 
Tekanan oklusal dan stress yang dihasilkan terjadi selama dilakukan aktivitas interoklusal sehingga dapat terjadi fraktur gigi dan restorasi. Lebih lanjut, stress dan flexural gigi juga dapat menyebabkan patahnya restorasi composite dan amalgam pada daerah servikal setelah pemberian beban berulang. Selain itu, tampak bahwa stress oklusal mempengaruhi permukaan bahan seperti foil emas oleh perubahan dalam kontur setelah pemberian beban berlebih dan berulang (Gambar 4A), menyerupai proses abfraksi. Seperti yang dikatakan oleh Caputo dan Standlee, “Seluruh jaringan dan struktur gigi mengikuti hukum fisik yang sama seperti bahan dan struktur lain”.
            Biokorosi –stress statik dan biokorosi – stress fatigue (siklis) paling sering terjadi pada regio servikal dan tampak menyerupai NCCL jika daerah tersebut bebas plak (Gambar 2, dan 4A-5B). Sebaliknya, karies akar (biokorosi bakteri) terjadi pada daerah yang sama jika oral hygiene terabaikan, karena terdapat korelasi dalam etiologi dari kedua lesi ini.

 

Gambar 5. A, Lesi servikal nonkaries multifaktorial pada #5, 6 dan 8 yang ditunjukkan sebagai biokorosif/abrasive/abfraksi yang disebabkan oleh mekanisme stress (abfraksi), biokorosi (asam dan proteolysis) dan friksi (abrasi sikat gigi/pasta gigi). Gigi #7 tampak utuh karena mengalami stress fatigue (siklis) yang lebih rendah dan karena berada di atas plane oklusal dibandingkan gigi tetangga yang menyerap beban oklusal. B, Perhatikan baha gigi #10, berbeda dengan #7, memiliki segi aus pada tepi insial mesial, menunjukkan peningkatan beban yang menyebabkan konsentrasi stress pada daerah servikal. Kurangnya saliva pada vestibulum daerah ini (#5, 6, 8-12) disertai asam dengan protease dari pasien yang dicurigai menderita bulimia ini, akan memungkinkan terjadinya biokorosi fatigue (siklis), sehingga menyebabkan kerusakan struktur gigi servikal.

Diperkirakan bahwa selama pengunyahan dan penelanan makanan, gigi berputar atau bersentuhan sekitar satu juta kali per tahun. Shore menyatakan bahwa gigi bersentuhan 1.500 kali setiap hari pada saat menelan. Berdasarkan Gibbs dan rekannya, rahang tetap tertutup pada saat menelan selama rata-rata 683 milidetik, dimana tiga kali lebih lama dibandingkan kontak oklusal 194 milidetik selama mengunyah. Penelitian beliau juga menunjukkan bahwa jika menggunakan tekanan gigitan rata-rata sebesar 66.5 pound, gigi bersentuhan selama rata-rata 522 milidetik dari total 683 milidetik dalam posisi inter-cuspal tertutup. Lebih lanjut, penelitian beliau menemukan bahwa kekuatan penelanan rata-rata sebesar 66.5 pound ini (295 N) lebih besar dibandingkan kekuatan pengunyahan yaitu sebesar 58.7 pound (261 N). Jika kontak premature terjadi pada gigi kemudian stress dipicu oleh beban siklis, seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan degradasi substansi gigi. Degradasi ini terjadi jika stress terjadi disertai dengan korodent baik berupa asam atau protease.
            Stress oklusal harus dipertimbangkan dalam tingkat molecular untuk meneliti efek yang terjadi. Dipahami bahwa stress dapat berperan secara sinergi sengan korrodent untuk menyebabkan biokorosi stress atau biokorosi stress fatigue (siklis) pada substansi gigi. Ikatan antara molekul dapat patah secara individual oleh mekanisme stress, friksi, atau biokorosi atau kombinasi faktor ini yang bersama-sama menyebabkan kerusakan material yang rentan, meliputi gigi. Dinamika kontak oklusal sangat kompleks, hal ini disebabkan oleh karena faktor modifikasi berikut : kemampuan buffering saliva, komposisi, tingkat aliran, pH dan viskositas saliva, serta komposisi, bentuk, struktur, mobilitas, posisi, dan bentuk lengkung gigi, serta gerakan lidah, kebiasaan yang merugikan, gangguan kesehatan medis dan umum, remineralisasi email dan dentin, intake diet, komposisi dan frekuensi konsumsi makanan dan minuman (Tabel 2). Sebab itu, terkadang sangat sulit untuk menentukan satu mekanisme tunggal sebagai penyebab NCCL primer. Konsep ini disusun dan ditampilkan dalam Schema of Pathodynamic mechanisms of Tooth Surface Lesions yang dikembangkan oleh Grippo, Simring dan Schreiner (JADA). Grippo, Simring, dan Coleman telah memperbaharui dan merevisi “The Schema” berdasarkan perkembangan terbaru (Gambar 1, Tabel 1 dan 2).


FAKTOR MODIFIKASI
            Selain variasi komposisi gigi, dokter juga perlu mempertimbangkan bentuk dan struktur gigi. Inklinasi cuspal gigi, yang mempengaruhi efisiensi pengunyahan, mengalami stress jika terlalu curam, tekanan kontak nonaksial terjadi selama kontak gigi dengan gigi. Jika kontak tersebut premature dan eksentris, stress pada regio servikal meningkat, sehingga menghasilkan konsentrasi stress yang lebih besar pada daerah tersebut.
            Jika permukaan oklusal datar oleh karena aus, tekanan oklusal tersebar pada permukaan dan diarahkan secara aksial, sebab itu menurunkan fleksural dan konsentrasi stress pada daerah servikal. Ritter dan rekannya mengatakan bahwa hal ini sering terjadi pada kelompok primitive dan dapat menjelaskan mengapa NCCL jarang terjadi pada kelompok tersebut.
            Yound dan Khan menyatakan bahwa hanya terdapat sedikit bukti bahwa tegangan pada email dan dentin lingual berbeda dengan yang terjadi pada daerah bukal pada saat melakukan gerakan fungsional. Namun bentuk lengkung arsitektural menghilangkan tekanan, yang dapat merusak lengkung, dengan mengaliskan tekanan ke seluruh komponen lengkung. Dengan cara yang serupa, bentuk lengkung gigi dapat menurunkan tekanan yang diarahkan ke lingual. Sebab itu, lengkung gigi menghalangi fleksural lingual gigi, tapi dapat memberikan tekanan ke arah facial yang dapat menyebabkan fleksural gigi dan menyebabkjan konsentrasi stress pada daerah servikal gigi. Efek bantalan ligamentum periodontal (PDL) merupakan faktor modifikasi lain. Telah ditunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara mobilitas gigi dan NCCL. GIgi yang goyang, baik disebabkan oleh PDL yang lkebar dan/atau akar pendek dan/atau tinggi tulang yang rendah, akan miring dan mengalirkan stress pada PDL dan tulang alveolar pendukung. Gigi yang stabil, jika diberikan stress ke lateral, akan mengalami fleksural pada daerah servikal dan menyebabkan konsentrasi stress pada daerah tersebut.
            Posisi oklusal gigi merupakan faktor penting dalam penentuan stress dan trauma. Jika gigi individual atau segmen gigi memanjang ke oklusal melewati plane oklusal, beberapa orang akan berusahan untuk memajukan rahang bawah sedemikian rupa atau pada posisi untuk menyentuh gigi yang menonjol ini. Sebab itu, orang tersebut akan mengalami tekanan berat dimana kontak yang tidak lazim ini akan menyebabkan aktivitas parafungsional. Pemeriksaan yang teliti untuk segi aus yang tidak lazim dan pola keausan dapat memberikan petunjukan ke arah sumber beban yang berlebihan. Segi aus menunjukkan daerah kontak awal dengan tekanan yang cukup untuk merusak email pada lokasi tersebut, serta jalur ekskursif rahang bawah, khususnya selama parafungsi (Gambar 2 dan 4A).
            Posisi facial yang menonjol juga penting karena merupakan predisposisi abrasi sikat gigi/pasta gigi, khususnya jika sikatan silang yang berlebih. Sebaliknya, gigi yang mengalami resesi bukal atau labial, terlindungi oleh gigi tetangga yang menonjol ke facial, akan terlindungi oleh abrasi. Perkembangan NCCL bergantung pada ada atau tidaknya pertemuan faktor pathodinamik yang melebihi ambang batas odontolytic gigi dalam lingkungan mulut.
            Sejak 1960, peranan stress telah disebutkan oleh sejumlah penelitian sebagai “penyebab utama” dari lesi yang membingungkan ini. Davis menyatakan bahwa sikat gigi – pasta gigi berperan sebagai pemicu stress dengan membentuk daerah konsentrasi stress pada regio servikal gigi yang disebabkan oleh abrasi friksional pada saat penyikatan dengan pasta gigi. Hal ini tampak masuk akal kasrena prevalensi NCCL pada permukaan facial gigi saat ini sangat berbeda dengan gigi kelompok primitif yang tidak menyikat gigi. Namun, teori Davis tidak menjelaskan sepenuhnya mengenai adanya lesi pada gigi, dimana gigi tetangga tidak terpengaruh, seperti pada Gambar 5A, atau lesi meluas higga ke bawah margin tepi mahkota atau gingiva.
            Gerakan pembersih lidah oleh friksi merupakan faktor lain yang melindungi permukaan lingual terhadap pembentukan NCCL. Permukaan lingual juga sulit dijangkau, khusunya untuk sikatan-silang. Selain itu, orang-orang terkadang kurang termotifasi untuk menyikat permukaan lingual karena tidak terlihat oleh orang lain. Faktor biokorosi pelengkap karena konsumsi minuman asam yang tinggi sebaiknya dipertimbangkan dalam peningkatan prevalensi NCCL.
            Sebuah penelitian unik dilakukan oleh Faye dan rekannya terhadap populasi yang tidak menyikat gigi dengan penyakit Hansens (leprosy). Penelitian pendahuluan mereka menunjukkan bahwa penggunaan sikat gigi/pasta gigi bukan merupakan faktor dalam etiologi NCCL, yang terjadi pada 48 (47%) dari 102 subjek Senegal. Beliau menyimpulkan bahwa stress oklusal dan stress insisal yang digabungkan dengan konsumsi minuman asam sehingga menyebabkan biokorosi merupakan mekanisme etiologi NCCL. Kelompok ini dipilih karena memiliki deformasi tangan yang menyebabkan populasi tersebut tidak bisa menggunakan sikat gigi (Gambar 3).
            Sebuah faktor paling penting untuk dipertimbangan mengenai lokasi dan etiologi NCCL adalah pengaruh modifikasi dari tingkat aliran, kemampuan buffering, pH, viskositas, dan komposisi saliva. Kleinberg menyatakan bahwa terdapat lima kali lebih banyak saliva pada permukaan lingual dibandingkan pada daerah vestibulum (Israel Kleinberg, SUNY Stony Brook of NY, pembicaraan pribadi, 2006). Penelitian tersebut juga didukung oleh Jenkins. SUmber  informasi ini mendukung pendapat bahwa saliva, khusunya saliva serous lingual, yang memiliki tingkat aliran dan kemampuan buffering dari bikarbonat tinggi, berperan dalam kurangnya NCCL lingual. Sebaliknya, NCCL lebih sering ditemukan pada permukaan facial dimana terdapat saliva mucous dan memiliki efek buffering yang lebih rendah. Xerostomia atau sindrom mulut kering, disebabkan oleh penyakit sistemik, dapat dipicu oleh kondisi medis atau oleh karena penuaan. Bernafas melalui mulut dapat meningkatkan efek ini dengan mempercepat penguapan saliva, khususnya pada daerah labial anterior.

RINGKASAN
            Berdasarkan ketahanan perubahan selama lebih dari 100 tahun, penulis berpendapat bahwa inilah saatnya untuk pergeseran paradigma, saatnya menggunakan terminologi dan konsep terbaru untuk menguraikan mekanisme yang terlibat dalam lesi permukaan gigi.  Sebab itu, hal ini akan meningkatkan hubungan dengan ilmu yang berhubungan, khususnya tehnik biomedis. Istilah “biokorosi” sebaiknya diterima untuk mengbantikan istilah “erosi”, yang sebelumnya mengacu pada degradasi kimia, karena asam eksogenous dan endogenous, proteolysis, dan reaksi elektrokimia dapat tercakup oleh istilah yang lebih tepat ini. Abfraksi, menunjukan mekanisme stress, berupa kehilangan substansi gigi pada daerah konsentrasi stress, sebaiknya tidak digunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL karena lesi tersebut umumnya bersifat multifaktorial. Lesi ini disebabkan oleh asam, protease, dan efek piezoelektrik yang terjadi pada dentin dengan komposisi  bahan organic mencapai 33%.
            Untuk mendapatkan diagnose banding yang lebih akurat mengenai etiologi NCCL, sebelum menunjukkan mekanisme tunggal, dokter harus mempertimbangkan riwayat medis dan gigi komprehensif, melakukan pemeriksaan oklusal, menguraikan diet dan praktek oral hygiene. Kemampuan buffering, komposisi, tingkat aliran, pH, dan viskositas saliva serta perbedaan antara saliva lingual dan vestibular merupakan faktor modifiksi penting dalam pembentukan NCCL. Posisi gigi yang menonjol atau kekurangan posisi oklusal, facial, atau lingual, sebaiknya diperiksa dalam menentukan pengaruh faktor ini. Dengan meneliti sinergi dari berbagai mekanisme koaktif, stress, friksi dan biokorosi, dan faktor modifikasinya, klinisi dapat mengidentifikasi etiologi kompleks dari lesi multifaktorial ini.
            Pengunaan Revised Schema of the Pathodynamic Mechanisms of Tooth Surface Lesion (gambar 1) dengan (Tabel 1) dan Faktor Modifikasi (Tabel 2) memberikan pendekatan yang baik dan praktis dalam menentukan etiologi dan pengelompokan NCCL.
            Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguraikan kofaktor biokorosi stress statik dan biokorosi stress fatigue (siklis), serta efek piezoelektrik pada dentin dalam etiologi NCCL.






REFERENSI
1.      Miller WD. Experiments and observations on the wasting of tooth tissue variously designated as erosion, abrasion, chemical abrasion, denudation, etc. Dental Cosmos 1907;XLIX(1):1–23;XLIX(2):109–124;XLIX(3): 225–47.
2.      Black GV. A work on operative dentistry. Pathology of hard tissues of the teeth. Vol. 1. 1st ed. Chicago (IL): Medico-Dental Publishing; 1907, pp. 39–59.
3.      Saxton CA, Cowell CR. Clinical investigation of the effects of dentifrices on dentin wear at the cementoenamel junction. J Am Dent Assoc 1981;102:38–43.
4.      Volpe R, Mooney R, Zumbrunnen C, et al. A long term clinical study evaluating the effect of two dentifrices on oral tissue. J Periodontol 1975;46(2):113–8.
5.      Hefferen JJ. A laboratory method for assessment of dentifrice abrasivitiy. J Dent Res 1976;54(4): 563–73.
6.      Radentz WH, Barnes GP, Cutright DE. A survey of factors possibly associated with cervical abrasion of tooth surfaces. J Periodontol 1976;47(3):148–54.
7.      Sanges G, Gjermo P. Prevalence of oral soft and hard tissue lesions related to mechanical tooth cleansing procedures. Community Dent Oral Epidemiol 1976;4:77–83.
8.      Saxton CA, Cowell CR. Clinical investigation of the effects of dentifrices on dentin wear at the cementoenamel junction. J Am Dent Assoc 1981;102(1):1109–18.
9.      Ingram CS. Cervical abrasion. J N Z Soc Periodontol 1982;54(11):11–2.
10.  Nordbo H, Skogedal O. The rate of cervical abrasion in dental students. Acta Odontol Scand 1982;40: 45–7.
11.  Smith BGN, Knight JK. A comparison of paterns of tooth wear with aetiological factors. Br Dent J 1984;157:16–9.
12.  Hand JS, Hunt RJ, Reinhardt JW. The prevalence and treatment implications of cervical abrasion in the elderly. Gerodontics 1986;2(5):167–70.
13.  Hong FL, Nu ZY, Xie XM. Clinical classification and therapeutic design of dental cervical abrasion. Gerodontics 1988;4(2):101–3.
14.  Bergstron J, Eliasson S. Cervical abrasion in relation to toothbrushing and periodontal health. Scand J Dent Res 1988;96(5):405–11.
15.  Kuroiwa M, Kodaka T, Kuroiwa M. Microstructural changes of human enamel surfaces by brushing with and without dentifrice containing abrasive. Caries Res 1993;27(1):1–8.
16.  Addy M, Hunter ML. Can tooth brushing damage your health? Effects on oral and dental tissues. Int Dent J 2003;53(Suppl. 3):177–86.
17.  Litonjua LA, Andreana S, Cohen RE. Toothbrush abrasions and noncarious cervical lesions: evolving concepts. Compend Contin Educ Dent 2005;26: 767–76.
18.  Bjorn H, Lindhe J. Abrasion of dentine by toothbrush and dentifrice. Odontol Revy 1996;17:17–27.
19.  Abrahamsen TC. The worn dentition pathognomonic patterns of abrasion and erosion. Int Dent J 2005;55:268–76.
20.  Dzakovich JJ, Oslak RR. In vitro reproduction of noncarious cervical lesions. J Prosthet Dent 2008;100(1):1–10.
21.  Bartlett D. Etiology and prevention of acid erosion. Compend Contin Educ Dent 2009;30(8):616–20.
22.  Stephan RM. Changes in the hydrogen—ion concentration on tooth surfaces and in carious lesions. J Am Dent Assoc 1940;27:718–23.
23.  Barron RP, Carmichael RP, Marcon MA, Sandor GK. Dental erosion in gastro esophageal reflux disease. J Can Dent Assoc 2003;69(2):84–9.
24.  Dawes C. What is the critical pH and why does a tooth dissolve in acid? J Can Dent Assoc 2003;69(11):722–4.
25.  Grippo JO. Abfraction: a new classification of hard tissue lesions of teeth. J Esthet Dent 1991;3:14–8.
26.  Grippo JO, Simring M. Dental erosion revisited. J Am Dent Assoc 1995;126(5):619–30.
27.  Grippo JO, Simring M, Schreiner S. Attrition, abrasion, corrosion and abfraction revisited. J Am Dent Assoc 2004;135:1109–18.
28.  Palamara D, Palamara JEA, Tyas MJ, et al. Effect of stress on acid dissolution of enamel. Dent Mater 2001;17(2):109–15.
29.  Staninec M, Nalla RK, Hilton JF, et al. Dentin erosion simulation by cantilever beam fatigue and pH change. J Dent Res 2005;84(4):371–5.
30.  Mishra P, Palamara JEA, Tyas MJ, Burrow MF. Effects of loading and pH on the subsurface demineralization of dentin beams. Calcif Tissue Int 2006;79:273–7.
31.  Mishra P, Palamara JEA, Tyas MJ, Burrow MF. Effects of static loading of dentin beams at various pH levels. Calcif Tissue Int 2006;79:416–21.
32.  Schlueter N, Hardt M, Klimek J, Ganss C. Influence of the digestive enzymes trypsin and pepsin in vitro on the progression of erosion in dentine. Arch Oral Biol 2010;55(4):294–99.
33.  Hara AT, Ando M, Cury JA, et al. Influence of the organi matrix on root dentine erosion by citric acid. Caries Res 2005;39:134–38.
34.  Kleter GA, Damen JJM, Everts V, Niehof J. The influence of the organic matrix on demineralization of bovine root dentin in vitro. J Dent Res 1994;73(9):1523–29.
35.  Shamos MH, Lavine LS. Physical bases for bioelectric effects in mineralized tissues. Clin Orthop 1964;34:177–88.
36.  Fukada E, Yasuda I. On the piezoelectric effect of bone. J of the Phys Soc of Japan 1957;12(10):1158–62.
37.  Braden M, Bairstow A, Beider I, Ritter B. Electrical and piezoelectric properties of dental hard tissues. Nature 1966;21:1565–66.
38.  Grippo JO, Masi JV. The role of stress corrosion and piezoelectricity in the formation of root caries. Proceedings of the Thirteenth Annual Northeast Bioengineering Conference. Vol. 1. Kenneth R, Foster PE, Ph.D., editors. Philadelphia (PA): University of Pennsylvania; 1987.
39.  Marino AA, Gross BD. Piezoelectricity in cementum, dentine and bone. Arch Oral Biol 1989;34(7):507–9.
40.  Grippo JO, Masi JV. Role of Biodental Engineering Factors (BEF) in the etiology of root caries. J Esthet Dent 1991;3(2):71–6.
41.  Lehman ML, Meyer ML. Relationship of dental caries and stress concentrations in teeth as revealed by photoelastic tests. J Dent Res 1966;45:706–14.
42.  Simring M. Occlusion: paradox or panacea. Alpha Omegan Scientific Issue 1980;73:34–9.
43.  Kuroe T, Caputo AA, Ohata N, Itoh H. Biomechanical effects of cervical lesions and restoration on periodontally compromised teeth. Quintessence Int 2001;32:111–8.
44.  Mair LH. Wear in dentistry—current terminology. J Dent 1992;20:140–4.
45.  Mair LH. Understanding wear in dentistry. Compend Contin Educ Dent 1999;20(1):19–30.
46.  Mair LH. Wear in the mouth: the tribological dimension. In: Addy M, Embery G, Edgar WM, Orchardson R, editors. Tooth wear and sensitivity. London: Martin Dunitz Ltd.; 2000, 181–8.
47.  Lussi A. Dental erosion. Monogr Oral Sci 2000;20:1–66. Chapter 6, Table 1.
48.  Evans LV. Biofilms: recent advances in their study and control. Boca Raton (FL): CRC Press Inc.; 2000.
49.  Joss J, Surman S, Walker J. Medical biofilms: detection, prevention and control. Vol. 2. West Sussex, England: J. Wiley Press; 2003, pp. 173–216.
50.  Nizel A. Nutrition in preventive dentistry: science and practice, 1st ed. Philadelphia (PA): WB Saunders; 1972, pp. 27–9.
51.  Videla HA. Manual of biocorrosion. Boca Raton (FL): CRC Press, Inc.; 1996.
52.  Pontefract H, Hughes J, Kemp K, et al. The erosive effects of some mouthrinses on enamel. A study in situ. J Clin Periodontol 2001;28(4):319–24.
53.  Korber KH. Die elastiche deformierung menschlicher zahne. Dtsch Zahnarztl Z 1962;17:691–4.
54.  Grosskopf G. Untersuchungen zur entstehung der sogenannten keilformigegen defekte am organum dentale (thesis). Frankfurt/Main, Germany; 1967.
55.  Lebau GI. The primary cause and prevention of dental caries. Bull Union Cty Dent Soc 1968;47(5):11–3.
56.  Lebau GI. The primary cause and prevention of dental caries. Bull Union Cty Dent Soc 1968;47(6):13–6.
57.  Spranger H, Haim G. Zur analyse hochfrequenter schwingungen der hartsubstanz menshlicher zahne. Stoma (Heidelb) 1969;22:145–52.
58.  Lukas D, Spranger H, Lukas D, Spranger H. Experimentelle Untersuchungen uber die Auswirkungenuntershiedlich gemessener Gelenkbahn und Benetwinkel auf die Horizontalbelastung des Zahnes bie definierten Unterkiefer Lateralbewegungen. Dtsch Zahnarztl Z 1973;28:755–8.
59.  Spranger H, Weber G, Kung YS. Untersuchungern die Atitologie, Pathogeneses un therapiekonsequenzen der zervialaen Zahnartsubstanzdefekte. Der Hessiche Zahnartz Separatum Otto-Loos Preis 1973;328–41.
60.  Thresher RW, Saito GE. The stress analysis of teeth. J Biomech 1973;6:443–9.
61.  Selna LG, Shillingburg HT Jr, Kerr PA. Finite element analysis of dental structures-axisymmetric and plane stress idealizations. J Biomed Mater Res 1975;9:237–54.
62.  Yettram AKM, Wright KWL, Pickard HM. Finite element analysis of the crowns of normal and restored  teeth. J Dent Res 1976;55(6):1004–11.
63.  Goel VK, Khera SC, Ralston JL, Chang KH. Stresses at the dentino enamel junction of human teeth. A finite element investigation. J Prosthet Dent 1991;66(4):451–9.
64.  McCoy G. On the longevity of teeth. Oral Implantol 1983;11(2):248–67.
65.  Lee WC, Eakle WS. Possible role of tensile stress in the etiology of cervical erosive lesions of teeth. J Prosthet Dent 1984;53(3):374–79.
66.  Ott RW, Proschel P. Zur Ateiologieedes keilformige Defekte. Ein funktions-orientierter epidemiologischer un experimenteller Beitrag. Dtsch Zahnarztl Z 1985;40:1223–7.
67.  Levitch L, Bader DA, Shugars DA, Heymann HO. Noncarious cervical lesions. J Dent 1994;22:195–207.
68.  Spranger H. Investigation into the genesis of angular lesions at the cervical region of teeth. Quintessence Int 1995;26(2):149–54.
69.  Owens BM, Gallien GS. Noncarious dental “abfraction” lesions in an aging population. Compend Contin Educ Dent 1995;16(6):552–62.
70.  Khan F, Young WG, Shahabi S, Daley TJ. Dental cervical lesions associated with occlusal erosion and attrition. Aust Dent J 1999;44(4):176–86.
71.  Lee WC, Eakle WS. Stress-induced cervical lesions: review of advances in the past 10 years. J Prosthet Dent 1996;75(5):487–94 c.f. Fig. 3.
72.  Rees JS. The role of cuspal flexure in the development of abfraction lesions: a finite element study. Eur J Oral Sci 1998;106:1028–32.
73.  Rees JS, Jacobsen PH. The effect of cuspal flexure on a buccal Class V restoration: a finite element study. J Dent 1998;26:361–7.
74.  Rees JS, Hammadeh M, Jagger DC. Abfraction lesion formation in maxillary incisors, canines, and premolars: a finite element study. Eur J Oral Sci 2003;111:149–54.
75.  Rees JS, Hammadeh M. Undermining of enamel as a mechanisms of abfraction lesion formation a finite element study. Eur J Oral Sci 2004;112: 347–52.
76.  Rees JS. The effect of variation in occlusal loading on the development of abfraction lesions: a finite element study. J Oral Rehabil 2002;29:188–93.
77.  Noma N, Kakigawa H, Kozono Y, Yokota M. Cementum crack formation by repeated loading in vitro. J Periodontol 2007;78:764–9.
78.  McCoy G. Dental compression syndrome: a new look at an old disease. J Oral Implantol 1999;25:35–49.
79.  Lussi A, Schaffner M. Progression of and risk factors for dental erosion and wedge-shaped defects over a 6-yearperiod. Caries Res 2000;34:182–7.
80.  Pintado MR, De Long R, Ko CC, et al. Correlation of noncarious cervical lesion size and occlusal wear in a single adult over a 13-year time span. J Prosthet Dent 2000;84:436–43.
81.  Piotrowski B, Gillette WB, Hancock EB. Examining the prevalence and characteristics of abfraction like lesions in a population of US Veterans. J Am Dent Assoc 2001;132:1694–701.
82.  Rees JS, Jagger DC. Abfraction lesions: myth or reality? J Esthet Restor Dent 2003;15:263–71.
83.  Oginni OA, Olusile AO, Udoye CI. Non-carious cervical lesions in a Nigerian population: abrasion or abfraction? Int Dent J 2003;53:275–9.
84.  Litonjua LA, Bush PJ, Andreana S, et al. Noncarious cervical lesions and abfractions: a re-evaluation. J Am Dent Assoc 2003;134(7):845–50.
85.  Litonjua LA, Bush PJ, Andreana S, et al. Effects of occlusal load cervical lesions. J Oral Rehabil 2004;31:225–32.
86.  Estafan A, Funari PC, Goldstein G, Hittelman EL. In vivo correlation of noncarious cervical lesions and occlusal wear. J Prosthet Dent 2005;93:221–6.
87.  Pagoraro LF, Scolaro JM, Conti PC, et al. Noncarious cervical lesions in adults: prevalence and occlusal aspects. J Am Dent Assoc 2005;136:1694–700.
88.  Bartlett DW, Shah P. A critical review of non-carious cervical (wear) lesions and the role of abfraction, erosion, and abrasion. J Dent Res 2006;85(4): 306–12.
89.  Faye B, Kane AW, Sarr M, et al. Noncarious cervical lesions among a non-toothbrushing population with Hansen’s disease (leprosy): initial finds. Quintessence Int 2006;37:613–9.
90.  Rees JS. The biomechanics of abfraction. Proc Inst Mech Eng [H] 2006;220:69–80.
91.  Wood I, Jawad Z, Paisley C, Brunton P. Non-carious cervical tooth surface loss: a literature review. J Dent 2008;36(10):759–66.
92.  Michael JA, Townsend GC, Greenwood LF, Kaidonis JA. Abfraction: separating fact from fiction. Aust Dent J 2009;54:2–8.
93.  Hanaoka K, Nagao D, Mitsui K, et al. A biomechanical approach to the etiology and treatment of noncarious dental cervical lesions. Bull Kanagawa Dent Coll 1998;26(2):103–11.
94.  Hanaoka K, Mitsuhashi A, Ebihara K, et al. Occlusionand the non-carious cervical lesion. Bull Kanagawa DentColl 2001;29(2):121–9.
95.  Lambrechts P, Braem M, Vanherele G. Evaluation ofclinical performance for posterior composite resins anddentine adhesives. Oper Dent 1987;12:53–78.
96.  Heymann HO, Sturdevant JR, Bayne SC, et al.Examining tooth flexure effects on cervical restorations:a two year clinical study. J Am Dent Assoc 1991;122:41–7.
97.  Onal B, Pamir T. The two-year clinical performance ofesthetic restorative materials in noncarious cervical lesions. J Am Dent Assoc 2005;136:1547–55.
98.  Francisconi LF, Graeff MSZ, Martins LDM, et al. The effects of occlusal loading on the margins of cervical restorations. J Am Dent Assoc 2009;140(10):1275–82.
99.  Sognnaes RF, Wolcott RB, Xhonga FA. Dental erosion I. Erosion—like patterns occurring in association with other dental conditions. J Am Dent Assoc 1972;84(3):571–6.
100.       Caputo AA, Standlee JP. Biomechanics of clinical dentistry. Hanover Park (IL): Quintessence Publishing; 1987, p. 19.
101.       Sessle BJ. Mastication, swallowing and related activities. In: Roth GI, Calmes R, editors. Oral biology. St. Louis (MO): C. V. Mosby Company; 1981, pp. 51–89 (Chapter 3).
102.       Anusavice K. Phillip’s science of dental materials, 11th ed. Philadelphia (PA): W. B. Saunders Publishing; 1996, pp. 90–1.
103.       Shore NA. Temporomandibular dysfunction and occlusal equilibration, 2nd ed. Philadelphia (PA): Lippincott; 1976, p. 11.
104.       Gibbs CH, Mahan PE, Lundeen HC, et al. Occlusal forces during chewing and swallowing as measured by sound transmission. J Prosthet Dent 1981;46(4):443–49.
105.       Mayhew RB, Jesseee SA, Martin RE. Associations of occlusal, periodontal, and dietary factors with the presence of non-carious cervical dental lesions. Am J Dent 1998;11:29–32.
106.       Zaslansky P, Weiner S. Design strategies of human teeth: biomechanical adaptations. In: Epple M, Bauerlein E, editors. Handbook of biomineralization. Weinheim: WILEY.VCH Verlag GambH & Co. KgaA; 2007, pp. 183–202 (Chapter 13).
107.       Ritter AV, Grippo JO, Coleman TA, Morgan ME. Prevalence of carious and non-carious cervical lesions in archaeological populations from North America and Europe. J Esthet Restor Dent 2009;21(5):324–35.
108.       Young WG, Khan F. Sites of dental erosion are saliva-dependent. J Oral Rehabil 2002;29:35–43.
109.       Richman C. Is gingival recession a consequence of an orthodontic tooth size and/or tooth position discrepancy? “A paradigm shift.” Compend Contin Educ Dent 2010;6 (available online).
110.       Davis MW. Factors associated with cervico-abfraction. Literature review and pilot study with periodontal and restorative considerations. J Cosmetic Dent 2002;4:58–76.
111.       Aubry M, Mafart B, Donat B, Brau JJ. Brief communication: study of non-carious cervical tooth lesions in samples of prehistoric, historic and modern populations from the south of France. Am J Phys Anthropol 2003;121:10–4.
112.       Jenkins GN. Salivary effects on plaque pH. In: Kleinberg I, Ellison SA, Mandel ID, editors. Saliva and dental caries. New York (NY): Information Retrieval, Inc.; 1979, pp. 307–22 (Microbiology Abstracts).
113.       Dawes C. Physiological factors affecting salivary flow rate, oral sugar clearance and the sensation of dry mouth in man. J Dent Res 1987;66:(Spec. Iss.) 648–53.
114.       Dawes C. Factors influencing salivary flow rate and composition. In: British Dental Assoc., London, editor. Saliva and oral health, 3rd ed. London: BDA; 2004, pp. 32–49 (Chapter 3).

 

0 komentar:

Posting Komentar