ABFRAKSI, ABRASI,
BIOKOROSI DAN ENIGMA LESI SERVIKAL NONKARIES: PERSPEKTIF 20-TAHUN
(Abfraction,
Abrasion, Biocorrosion, and the Enigma of Noncarious Cervical Lesions: A
20-Year Perspective)
JohnO. Grippo, DDS, Marvin Simring
DDS, Thomas A. Coleman, DDS
ABSTRAK
Dua dekade terakhir telah memberikan sejumlah
penelitian baru mengenai lesi ini. Sebagian besar penelitian
telah diuraikan dan digunakan dalam pendekatan praktis untuk memahami dan
menunjukkan lesi ini. Pergeseran paradikma menunjukkan bahwa penggunaan istilah
“biokorosi” untuk menggantikan “erosi” terus salah digunakan di Amerika Serikat dan
sejumlah negara lain di dunia. Biokorosi mencakup degradasi kimia, biokimia dan
elektrokimia substansi gigi yang disebabkan oleh asam endogenous dan
eksogenous, agen proteolytic, serta efek piezoelektrik pada dentin. Abfraksi,
menunjukkan kehilangan mikrostruktural substansi gigi pada daerah konsentrasi
stress, yang sebaiknya tidak digunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL karena
lesi ini umumnya bersifat multifaktorial. Kata yang tepat untuk NCCL bergantung
pada kombinasi spesifik tiga mekanisme utama: stress, friksi dan biokorosi,
yang terjadi secara unik pada masing-masing kasus individual. Faktor
modifikasi, seperti saliva, lidah, bentuk, komposisi, mikrostruktur, mobilitas
dan posisi prominensia gigi dapat diabaikan.
MAKNA KLINIS
Dengan melakukan riwayat medis dan
gigi yang lengkap, penggunaan istilah dan konsep yang tepat, dan penggunaan
Skema Mekanisme Pathodinamik yang telah direvisi, dokter gigi dapat
mengidentifikasi dan melakukan perawatan etiologi lesi permukaan akar dengan tepat. Tindakan
pencegahan dapat dilakukan jika faktor kausatif diketahui dan dengan
mempertimbangkan faktor modifikasinya.
PENDAHULUAN
Sejak dimulainya masa kedokteran
gigi modern, etiologi lesi servikal nonkaries (NCCL) telah dikatakan oleh
beberapa dokter gigi disebabkan oleh abrasi sikat gigi/pasta gigi saja. Beberapa dokter gigi lain
mengatakan bahwa lesi ini umumnya disebabkan oleh asam dan disebut “erosi”,
lebih tepat disebut “biokorosi”, yang mencakup seluruh bentuk degradasi kimia,
biokimia, dan elektrokimia. Setelah diperkenalkannya istilah abfraksi oleh
Grippo pada tahun 1991 dan ditetapkan pada tahun 2004, untuk menunjukkan
fraktur mikro substansi gigi pada daerah konsentrasi stress, istilah ini masih
sering salah diartikan dan disalah gunakan. Penelitian menunjukkan pengaruh stress yang disertai oleh
asam, dan protease enzimatik sebagai faktor dalam pembentukan NCCL. Efek
piezoelektrik pada dentin juga telah dilaporkan. Penelitian juga menunjukkan
bahwa stress dapat menjadi kofaktor dalam etiologi karies, khususnya karies
servikal atau akar. Namun, istilah abfraksi telah menjadi “kata utama” dalam
menunjukkan etiologi tunggal, dan sering disalah gunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL. Karena
interaksi kompleks dari berbagai mekanisme ini – korosi (menyebabkan degradasi
kimia), stress (ditunjukkan oleh abfraksi), dan friksi (dari abrasi sikat
gigi/pasta gigi) – maka secara umum tidak tepat untuk mengatakan bahwa seluruh
NCCL hanya disebabkan oleh satu mekanisme saja (Gambar 1, Tabel 1). Dokter perlu
mempertimbangkan seluruh faktor etiologi dan faktor modifikasi sebelum
menegakkan diagnosa atau melakukan perawatan jika diindikasikan.
Gambar 1. Skema mekanisme
patodinamik yang telah direvisi. Skema ini menunjukkan
faktor etiologi pemicu dan yang memperburuk yang menyebabkan terbentuknya lesi
permukaan gigi,
|
Konsentrasi stress yang disebabkan oleh tekanan oklusal
dapat terjadi pada berbagai lokasi di gigi selama kontak interoklusal. Jenis aplikasi tekanan yang digunakan dalam
kedokteran gigi adalah kompresi, tegangan, fleksi, dan shear. Tekanan oklusal
menyebabkan stress, khususnya selama parafungsi, menyebabkan fatigue (kerusakan
subpermukaan) substansi gigi dan terjadi tepat di bawah zona kontak, tapi pada
kasus NCCL, jarak tersebut cukup jauh (Lawrence H. Mair, University of Central
Lancashire, pembicaraan pribadi, 2007).
Stress yang dihasilkan dalam gigi tergantung pada besar, arah, frekuensi, daerah
aplikasi, dan durasi tekanan, serta orientasinya terhadap aksis gigi, serta
bentuk, komposisi, dan stabilitas gigi (Tabel 2). Dengan mempertimbangkan
faktor ini, konsentrasi stress dapat berperan secara sinergis sebagai kofaktor
baik dengan korrodent mikroba dan nonmikroba serta abrasive, untuk memicu lesi
karies dan/atau nonkaries.
Tribology, berdasarkan Mair “meneliti hubungan antara
lubrikasi, friksi dan keausan. Dalam tribology, proses keausan utama adalah:
keausan abrasif (penyikatan), keausan
adhesive (penarikan), keausan disebabkan oleh fatigue (retakan subkritikal),
keausan fretting (pergeseran), keausan erosive (aliran cairan) dan keausan
korosif (kelarutan). Jika salah satu permukaan adalah cairan atau gas, maka
proses ini disebut erosi. Friksi adalah mikrodeformasi atom permukaan karena
menyerap energy pergerakan kinetic.Karena molekul berusaha kembali ke posisi
awal, maka molekul melepaskan energy yang baru tersimpan dalam bentuk panas.
Diharapkan, panas ini dapat dihilangkan oleh pelumas yang merupakan faktor
ketiga dalam tribos tribologi. – pelumas, friksi dan keausan. Jika panas tidak dihilangkan maka akan terjadi kerusakan, yang
menyebabkan keausan gigi atau fraktur (Lawrence H. Mair, University of Central
Lancashire, pembicaraan pribadi, 2007). Penyataan di atas menjelaskan peranan
abrasi sebagai kofaktor dalam etiologi NCCL.
BIOKOROSI VERSUS EROSI
Literatur kedokteran gigi terbaru
dalam sejumlah negara sering menyatakan bahwa “erosi” merupakan kehilangan
email dan dentin yang disebabkan oleh asam yang tidak berhubungan dengan
bakteri. Defnisi “erosi” ini tidak dapat
menjelaskan, atau menghubungkan efek proteolisis dan piezoelektrik yang juga
terlibat dalam degradasi biokimia dan elektrokimia substansi gigi. Penulis
berpendapat bahwa “biokorosi adalah reaksi kimia, biokimia atau elektrokima
yang menyebabkan degradasi molekular pada bagian penting dalam jaringan mahkluk hidup.
Biokorosi gigi dapat
terjadi oleh asam eksogenous kimia dan endogenous biokimia, oleh enzim, proteolytic biokimia dan juga efek
piezoelektrik yang berperan pada matrik organic dentin, yang umumnya terdiri
dari kolagen (Gambar 1). Sebab itu, seluruh istilah biokorosi sebaiknya
menggantikan istilah “erosi”. Erosi bukan merupakan mekanisme kimia; namun,
mekansime fisik yang menyebabkan keausan oleh frikso dari pergerakan cairan.
Seperti yang dilaporkan oleh Lussi,
email terdiri dari 85% bahan anorganik, yang umumnya terdiri dari
hydroxyapatite dan mudah terdisintegrasi oleh asam. Dentin terdiri dari 33%
bahan organic yang mudah terdegradasi oleh enzim proteolitik. SUmber enzim
proteolitik ini (protease) dapat dihasilkan oleh mikroorganisme plak, dan
berasal dari cairan crevicular gingiva. Meskipun asam dapat menyebabkan
demineralisasi lapisan permukaan dentin, matriks organic dentin tidak dapat
larut oleh air. Sebab itu, daerah permukaan yang terdemineralisasi dapat
berperan sebagai pelindung difusi untuk membatasi perkembangan demineralisasi
dan kehilangan jaringan keras.
Dalam sebuah penelitian in vitro, Schlueter dan rekannya menunjukkan bahwa enzim
proteolitik dari perut (pepsin) dan pancreas (trypsin) dapat mengdegradasi
matrik organic dentin yang terdemineralisasi. Mekanisme kerja kedua enzim ini
secara signifikan lebih besar dibandingkan mekanisme enzim secara
terpisah. Enzim proteolitik ini dapat
naik ke mulut jika seseorang menderita penyakit seperti gastroesophageal reflux
disease (GERD), regurgitasi habitual atau bulimia nervosa yang ditandai oleh
muntah yang picu oleh diri sendiri. Telah ditunjukkan bahwa pada hiatal hernia,
yang sering ditemukan pada subjek berusia di atas 50 tahun, esophagus cenderung
menjadi lebih pendek; sebab itu, mendorong perut ke daerah thorax. Hal ini
meningkatkan kecenderungan asam lamb ung, enzim pencernaan dari pancreas dan
protease empedu dapat naik ke mulut seperti pada GERD (William F. Erber,
Gastroenterologist, Brooklyn, NY, pembicaraan pribadi, 2010). Dengan
bertambahnya usia populasi Amerika, kami dapat mengatasi peningkatan
epidemiologi dalam prevalensi biokorosi gigi.
Biokorosi karies atau mikorba
terjadi jika mikroorganisme berkembang dalam bentuk biofilm atau plak, yang
biasanya bersifat kemoautotropik, yang bereaksi pada gigi dalam bentuk
acidogenesis, sama seperti pada pembentukan karies. Karies gigi dipicu oleh
dekalsifikasi asam hydroxyapatite, komponen anorganik email. Hal ini
dilanjutkan oleh degradasi enzimatik pada protein email dalam jumlah yang
relatif kecil (proteolisis). Kemudian, bakteri kariogenik menginvasi gigi dan
terus masuk kedalam dan merusak email dan dentin, yang menyebabkan terbentuknya
kavitas. Sebab itu, mekanisme acidogenesis ini (reaksi kima) dan proteolisis
(reaksi biokimia) dengan tepat dapat disebut “biokorosi” atau sering disebut
dengan karies.
Penelitian telah menunjukkan bahwa
reaksi elektrokimia efek piezoelektrik pada dentin juga terjadi. Yang menarik,
email tidak memiliki sifat piezoelektrik. Telah ditunjukkan dalam sebuah
penelitian bahwa efek ini mampu menghilangkan ion kalsium dari gigi.
MEKANISME GABUNGAN
Meskipun hanya terdapat sedikit
penelitian ilmiah mengenai stress statik biokorosi dan stress fatigue (siklis)
biokorosi pada gigi, manifestasi klinis NCCL menunjukkan bahwa terjadi
mekanisme gabungan (Gambar 2). Biokorosi - stress statis terjadi jika corrodent
terdapat pada permukaan gigi, yang menahan beban tekanan,seperti pada clenching
yang lama, deglutasi, atau selama perawatan ortodontik. Biokorosi- stress
siklis (fatigue) terjadi jika terdapat corrodent, beban intermittent
diaplikasikan, seperti bruxing, tapping oklusal parafungsional, clenching, atau
pengunyahan. Prinsip thermodinamik menunjukkan bahwa aktivitas kimia dan
biokimia (biokorosi) dipercepat jika terdapat stress.
KOFAKTOR TAMBAHAN
Abrasi/biokorosi berlangsung jika
permukaan gigi dilapisi oleh asam atau corrodent proteolitik dan kemudian
terabrasi oleh gesekan. Hal ini terjadi jika gigi disikat dengan pasta gigi
segera setelah mengkonsumsi minuman asam, atau setelah muntah. Dengan kata
lain, biokorosi yang terjadi pada tingkat mikrostruktural terjadi pada
permukaan gigi yang kemudian terabrasi oleh sikat gigi/pasta gigi.
Hal ini juga terjadi jika terdapat
plak bakteri, menghasilkan asam dan protease, kemudian bereaksi pada permukaan
gigi, khususnya dentin servikal. Biofilm ini dapat dihilangkan dengan abrasi
(friksi) dari sikat gigi dan erosi (semprotan) dengan obat kumur pada saat
berkumur. Kedua mekanisme ini akan mengurangi kehilangan mikrostrukutral
substansi gigi yang lunak, sehingga menyebabkan terbentuknya NCCL pada dentin
pada daerah servikal yang disebabkan oleh abrasi dan erosi (semprotan) yang berperan sebagai kofaktor.
Efek erosive aliran air pada gigi,
yang mencakup pergerakan, tidak signifikan. Namun, jika efek erosive asam
terjadi, dimana seseorang mengkonsumsi minuman berkarbonasi atau pada saat
muntah, erosi/biokorosi akan menyebabkan kehilangan substansi gigi. Telah
dilaporkan bahwa erosi/biokorosi dapat juga terjadi oleh penggunaan obat kumur
asam dalam jangka waktu yang lama.
PENYEBAB MULTIFAKTORIAL
LESI SERVIKAL NONKARIES
Sebelum diperkenalkannya istilah
abfraksi oleh Grippo pada tahun 1991, sejumlah artikel menguraikan mengenai
deformasi gigi, distribusi stress pada gigi, serta kehilangan substansi gii
yang disebabkan oleh beban tekanan. Setelah dipublikasikannya hipotesa oleh
McCoy, serta oleh Lee dan Eakle, bahwa stress “tensile” berperan dalam
kehilangan email pada regio servikal, sejumlah penelitian mulai berfokus tipe
stress spesifik ini. Tehnik photoelastik dan finite element analisis (FEA)
telah membuktikan bahwa regio servikal adalah zona konsentrasi stress maksimum.
Lucas dan Spranger pada tahun 1973
menerbitkan penelitian tekanan horizontal gigi selama pergerakan lateral rahang
bawah. Beliau menunjukkan bahwa torsi dan translasi terjadi bersama-sama pada
regio servikal gigi. Pada tahun yang sama, Spranger dan rekannya menjelaskan
pembentukan lesi servikal sebagai kondisi multifaktorial yang mencakup stress,
biokorosi dan friksi.
Pada tahun 1985, Ott dan Proschel
melaporkan perkembangan lesi permukaan gigi, yang beliau interpretasikan
sebagai defek berbentuk baji dini. Penelitian beliau menghubungkan defek dengan
terjadinya disfungsi oklusal.
Tidak lama setelah itu, Grippo dan Masi
membuktikan fleksi dengan menggunakan strain gauge pada gigi yang dipendam
dalam frame beban. Beliau juga
melaporkan penelitian pertama mengenai biokorosi stress pada gigi; dimana
terjadi peningkatan tingkat biokorosi kehilangan email jika gigi diberikan
beban statik dalam lingkungan asam. Namun, kehilangan substansi gigi pada
dentin dihitung pada penelitian tersebut. Beliau juga melaporkan efek
piezoelektrik pada gigi yang diberikan beban secara statik dan siklis. Efek
piezoelektrik ini (lebih dari 10-14 coulomb/Newton) cukup untuk
memindahkan ion kalsium, sehingga berperan sebagai kofaktor dalam
demineralisasi gigi. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menegaskan
observasi seminal ini.
Sejal awal tahun 1990, sejumlah
penelitian telah diterbitkan dengan pendapat yang bertentangan mengenai
pembentukan NCCL. Sebagian besar anggapan berpusat pada oklusi, biomekanis
tekanan oklusal dan stress dan tegangan yang dihasilkan. Penelitian FEA terbaru
mendukung peranan stress pada regio servikal sebagai zona konsentrasi stress
maksimum. Diharapkan, penelitian terbaru dengan menggunakan teknologi lanjut
dapat memcahkan dilemma ini.
Palamara dan rekannya, menggunakan
asam lactic 1% (pH 4.5) untuk mengstimulasi kondisi plak gigi dalam beban yang
berulang. Penelitian beliau menunjukkan bahwa jika beban siklis digabungkan
dengan perendaman dalam asam, efek stress tensile dapat ditemukan pada email
regio servikal. Hasil ini sesuai dengan penelitian klinis dan mendukung konsep
biokorosi – stress statik dan biokorosi – stress fatigue (siklis) sebagai
kofaktor pembentukan NCCL. Mekanisme ini juga menyebabkan lesi seluruhnya
terjadi pada email, dengan lokaso dan geometri berbeda seperti yang ditampilkan
pada Gambar 2.
Pada tahun 2005, Staninec dan
rekannya melaporkan rangkaian penelitian fatigue-siklis in vitro pertama pada
cantilever dentin manusia dengan dua lingkungan berbeda. Beliau menunjukkan
bahwa stress mekanis dan nilai pH yang lebih rendah dapat mempercepat
kehilangan material permukaan dentin. Hasil penelitian beliau menunjukkan
mekanisme kegagalan (stress) fatigue fisik siklis yang digabungkan dengan
biokorosi.
Penelitian terbaru, Mishra dan
rekannya, yang meneliti dentin sapi, yang mendapatkan stress dari beban statik
yang digabungkan dengan pH rendah berhubungan dengan peningkatan demineralisasi
subpermukaan pada batangan dentin dengan tepi yang difiksasi. Dalam penelitian
yang serupa, beliau menyimpulkan bahwa stress gabungan dan pH yang lebih rendah
mempercepat kehilangan permukaan pada balok dentin dengan ujung yang difiksasi,
dimana pada gigi menunjukkan regio servikal, daerah konsentrasi stress.
Noma
dan rekannya menunjukkan bahwa retakan sementum berawal pada daerah cervix,
setelah beban kompresif berulang, meluas hingga apeks akar. Beliau menyimpulkan
bahwa pengaruh stress dari beban siklis oklusal dapat memicu fraktur fatigue
pada permukaan akar. Hasil penelitian beliau mendukng anggapan bahwa NCCL dapat
terbentuk jika ikatan molecular patah dan mikrofraktur (abfraksi) terjadi pada
daerah konsentrasi stress
Tekanan oklusal dan stress yang dihasilkan terjadi selama
dilakukan aktivitas
interoklusal sehingga dapat terjadi fraktur gigi dan restorasi. Lebih lanjut,
stress dan flexural gigi juga dapat menyebabkan patahnya restorasi composite
dan amalgam pada daerah servikal setelah pemberian beban berulang. Selain itu,
tampak bahwa stress oklusal mempengaruhi permukaan bahan seperti foil emas oleh
perubahan dalam kontur setelah pemberian beban berlebih dan berulang (Gambar
4A), menyerupai proses abfraksi. Seperti yang dikatakan oleh Caputo dan
Standlee, “Seluruh jaringan dan struktur gigi mengikuti hukum fisik yang sama
seperti bahan dan struktur lain”.
Biokorosi –stress statik dan
biokorosi – stress fatigue (siklis) paling sering terjadi pada regio servikal
dan tampak menyerupai NCCL jika daerah tersebut bebas plak (Gambar 2, dan 4A-5B).
Sebaliknya, karies akar (biokorosi bakteri) terjadi pada daerah yang sama jika
oral hygiene terabaikan, karena terdapat korelasi dalam etiologi dari kedua
lesi ini.
Diperkirakan
bahwa selama pengunyahan dan penelanan makanan, gigi berputar atau bersentuhan
sekitar satu juta kali per tahun. Shore menyatakan bahwa gigi bersentuhan 1.500
kali setiap hari pada saat menelan. Berdasarkan Gibbs dan rekannya, rahang tetap
tertutup pada saat menelan selama rata-rata 683 milidetik, dimana tiga kali
lebih lama dibandingkan kontak oklusal 194 milidetik selama mengunyah.
Penelitian beliau juga menunjukkan bahwa jika menggunakan tekanan gigitan
rata-rata sebesar 66.5 pound, gigi bersentuhan selama rata-rata 522 milidetik
dari total 683 milidetik dalam posisi inter-cuspal tertutup. Lebih lanjut, penelitian
beliau menemukan bahwa kekuatan penelanan rata-rata sebesar 66.5 pound ini (295
N) lebih besar dibandingkan kekuatan pengunyahan yaitu sebesar 58.7 pound (261
N). Jika kontak premature terjadi pada gigi kemudian stress dipicu oleh beban
siklis, seiring berjalannya waktu, dapat menyebabkan degradasi substansi gigi.
Degradasi ini terjadi jika stress terjadi disertai dengan korodent baik berupa
asam atau protease.
Stress oklusal harus dipertimbangkan
dalam tingkat molecular untuk meneliti efek yang terjadi. Dipahami bahwa stress
dapat berperan secara sinergi sengan korrodent untuk menyebabkan biokorosi
stress atau biokorosi stress fatigue (siklis) pada substansi gigi. Ikatan
antara molekul dapat patah secara individual oleh mekanisme stress, friksi,
atau biokorosi atau kombinasi faktor ini yang bersama-sama menyebabkan
kerusakan material yang rentan, meliputi gigi. Dinamika kontak oklusal sangat
kompleks, hal ini disebabkan oleh karena faktor modifikasi berikut : kemampuan
buffering saliva, komposisi, tingkat aliran, pH dan viskositas saliva, serta
komposisi, bentuk, struktur, mobilitas, posisi, dan bentuk lengkung gigi, serta
gerakan lidah, kebiasaan yang merugikan, gangguan kesehatan medis dan umum,
remineralisasi email dan dentin, intake diet, komposisi dan frekuensi konsumsi
makanan dan minuman (Tabel 2). Sebab itu, terkadang sangat sulit untuk
menentukan satu mekanisme tunggal sebagai penyebab NCCL primer. Konsep ini
disusun dan ditampilkan dalam Schema of Pathodynamic mechanisms of Tooth
Surface Lesions yang dikembangkan oleh Grippo, Simring dan Schreiner (JADA).
Grippo, Simring, dan Coleman telah memperbaharui dan merevisi “The Schema”
berdasarkan perkembangan terbaru (Gambar 1, Tabel 1 dan 2).
FAKTOR MODIFIKASI
Selain variasi komposisi gigi,
dokter juga perlu mempertimbangkan bentuk dan struktur gigi. Inklinasi cuspal
gigi, yang mempengaruhi efisiensi pengunyahan, mengalami stress jika terlalu
curam, tekanan kontak nonaksial terjadi selama kontak gigi dengan gigi. Jika
kontak tersebut premature dan eksentris, stress pada regio servikal meningkat,
sehingga menghasilkan konsentrasi stress yang lebih besar pada daerah tersebut.
Jika permukaan oklusal datar oleh
karena aus, tekanan oklusal tersebar pada permukaan dan diarahkan secara
aksial, sebab itu menurunkan fleksural dan konsentrasi stress pada daerah
servikal. Ritter dan rekannya mengatakan bahwa hal ini sering terjadi pada
kelompok primitive dan dapat menjelaskan mengapa NCCL jarang terjadi pada
kelompok tersebut.
Yound dan Khan menyatakan bahwa
hanya terdapat sedikit bukti bahwa tegangan pada email dan dentin lingual
berbeda dengan yang terjadi pada daerah bukal pada saat melakukan gerakan
fungsional. Namun bentuk lengkung arsitektural menghilangkan tekanan, yang dapat
merusak lengkung, dengan mengaliskan tekanan ke seluruh komponen lengkung. Dengan
cara yang serupa, bentuk lengkung gigi dapat menurunkan tekanan yang diarahkan
ke lingual. Sebab itu, lengkung gigi menghalangi fleksural lingual gigi, tapi
dapat memberikan tekanan ke arah facial yang dapat menyebabkan fleksural gigi
dan menyebabkjan konsentrasi stress pada daerah servikal gigi. Efek bantalan
ligamentum periodontal (PDL) merupakan faktor modifikasi lain. Telah
ditunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara mobilitas gigi dan NCCL.
GIgi yang goyang, baik disebabkan oleh PDL yang lkebar dan/atau akar pendek
dan/atau tinggi tulang yang rendah, akan miring dan mengalirkan stress pada PDL
dan tulang alveolar pendukung. Gigi yang stabil, jika diberikan stress ke
lateral, akan mengalami fleksural pada daerah servikal dan menyebabkan
konsentrasi stress pada daerah tersebut.
Posisi oklusal gigi merupakan faktor
penting dalam penentuan stress dan trauma. Jika gigi individual atau segmen
gigi memanjang ke oklusal melewati plane oklusal, beberapa orang akan berusahan
untuk memajukan rahang bawah sedemikian rupa atau pada posisi untuk menyentuh
gigi yang menonjol ini. Sebab itu, orang tersebut akan mengalami tekanan berat
dimana kontak yang tidak lazim ini akan menyebabkan aktivitas parafungsional.
Pemeriksaan yang teliti untuk segi aus yang tidak lazim dan pola keausan dapat
memberikan petunjukan ke arah sumber beban yang berlebihan. Segi aus
menunjukkan daerah kontak awal dengan tekanan yang cukup untuk merusak email
pada lokasi tersebut, serta jalur ekskursif rahang bawah, khususnya selama
parafungsi (Gambar 2 dan 4A).
Posisi facial yang menonjol juga
penting karena merupakan predisposisi abrasi sikat gigi/pasta gigi, khususnya
jika sikatan silang yang berlebih. Sebaliknya, gigi yang mengalami resesi bukal
atau labial, terlindungi oleh gigi tetangga yang menonjol ke facial, akan
terlindungi oleh abrasi. Perkembangan NCCL bergantung pada ada atau tidaknya
pertemuan faktor pathodinamik yang melebihi ambang batas odontolytic gigi dalam
lingkungan mulut.
Sejak 1960, peranan stress telah
disebutkan oleh sejumlah penelitian sebagai “penyebab utama” dari lesi yang
membingungkan ini. Davis menyatakan bahwa sikat gigi – pasta gigi berperan
sebagai pemicu stress dengan membentuk daerah konsentrasi stress pada regio
servikal gigi yang disebabkan oleh abrasi friksional pada saat penyikatan
dengan pasta gigi. Hal ini tampak masuk akal kasrena prevalensi NCCL pada
permukaan facial gigi saat ini sangat berbeda dengan gigi kelompok primitif
yang tidak menyikat gigi. Namun, teori Davis tidak menjelaskan sepenuhnya
mengenai adanya lesi pada gigi, dimana gigi tetangga tidak terpengaruh, seperti
pada Gambar 5A, atau lesi meluas higga ke bawah margin tepi mahkota atau
gingiva.
Gerakan pembersih lidah oleh friksi
merupakan faktor lain yang melindungi permukaan lingual terhadap pembentukan
NCCL. Permukaan lingual juga sulit dijangkau, khusunya untuk sikatan-silang.
Selain itu, orang-orang terkadang kurang termotifasi untuk menyikat permukaan
lingual karena tidak terlihat oleh orang lain. Faktor biokorosi pelengkap
karena konsumsi minuman asam yang tinggi sebaiknya dipertimbangkan dalam
peningkatan prevalensi NCCL.
Sebuah penelitian unik dilakukan
oleh Faye dan rekannya terhadap populasi yang tidak menyikat gigi dengan
penyakit Hansens (leprosy). Penelitian pendahuluan mereka menunjukkan bahwa
penggunaan sikat gigi/pasta gigi bukan merupakan faktor dalam etiologi NCCL,
yang terjadi pada 48 (47%) dari 102 subjek Senegal. Beliau menyimpulkan bahwa
stress oklusal dan stress insisal yang digabungkan dengan konsumsi minuman asam
sehingga menyebabkan biokorosi merupakan mekanisme etiologi NCCL. Kelompok ini
dipilih karena memiliki deformasi tangan yang menyebabkan populasi tersebut
tidak bisa menggunakan sikat gigi (Gambar 3).
Sebuah faktor paling penting untuk
dipertimbangan mengenai lokasi dan etiologi NCCL adalah pengaruh modifikasi
dari tingkat aliran, kemampuan buffering, pH, viskositas, dan komposisi saliva.
Kleinberg menyatakan bahwa terdapat lima kali lebih banyak saliva pada
permukaan lingual dibandingkan pada daerah vestibulum (Israel Kleinberg, SUNY
Stony Brook of NY, pembicaraan pribadi, 2006). Penelitian tersebut juga
didukung oleh Jenkins. SUmber informasi
ini mendukung pendapat bahwa saliva, khusunya saliva serous lingual, yang
memiliki tingkat aliran dan kemampuan buffering dari bikarbonat tinggi,
berperan dalam kurangnya NCCL lingual. Sebaliknya, NCCL lebih sering ditemukan
pada permukaan facial dimana terdapat saliva mucous dan memiliki efek buffering
yang lebih rendah. Xerostomia atau sindrom mulut kering, disebabkan oleh
penyakit sistemik, dapat dipicu oleh kondisi medis atau oleh karena penuaan.
Bernafas melalui mulut dapat meningkatkan efek ini dengan mempercepat penguapan
saliva, khususnya pada daerah labial anterior.
RINGKASAN
Berdasarkan ketahanan perubahan
selama lebih dari 100 tahun, penulis berpendapat bahwa inilah saatnya untuk
pergeseran paradigma, saatnya menggunakan terminologi dan konsep terbaru untuk
menguraikan mekanisme yang terlibat dalam lesi permukaan gigi. Sebab itu, hal ini akan meningkatkan hubungan
dengan ilmu yang berhubungan, khususnya tehnik biomedis. Istilah “biokorosi”
sebaiknya diterima untuk mengbantikan istilah “erosi”, yang sebelumnya mengacu
pada degradasi kimia, karena asam eksogenous dan endogenous, proteolysis, dan
reaksi elektrokimia dapat tercakup oleh istilah yang lebih tepat ini. Abfraksi,
menunjukan mekanisme stress, berupa kehilangan substansi gigi pada daerah konsentrasi
stress, sebaiknya tidak digunakan untuk menunjukkan seluruh NCCL karena lesi
tersebut umumnya bersifat multifaktorial. Lesi ini disebabkan oleh asam,
protease, dan efek piezoelektrik yang terjadi pada dentin dengan komposisi bahan organic mencapai 33%.
Untuk mendapatkan diagnose banding
yang lebih akurat mengenai etiologi NCCL, sebelum menunjukkan mekanisme
tunggal, dokter harus mempertimbangkan riwayat medis dan gigi komprehensif,
melakukan pemeriksaan oklusal, menguraikan diet dan praktek oral hygiene.
Kemampuan buffering, komposisi, tingkat aliran, pH, dan viskositas saliva serta
perbedaan antara saliva lingual dan vestibular merupakan faktor modifiksi
penting dalam pembentukan NCCL. Posisi gigi yang menonjol atau kekurangan
posisi oklusal, facial, atau lingual, sebaiknya diperiksa dalam menentukan
pengaruh faktor ini. Dengan meneliti sinergi dari berbagai mekanisme koaktif,
stress, friksi dan biokorosi, dan faktor modifikasinya, klinisi dapat
mengidentifikasi etiologi kompleks dari lesi multifaktorial ini.
Pengunaan Revised Schema of the
Pathodynamic Mechanisms of Tooth Surface Lesion (gambar 1) dengan (Tabel 1) dan
Faktor Modifikasi (Tabel 2) memberikan pendekatan yang baik dan praktis dalam
menentukan etiologi dan pengelompokan NCCL.
Diperlukan penelitian lebih lanjut
untuk menguraikan kofaktor biokorosi stress statik dan biokorosi stress fatigue
(siklis), serta efek piezoelektrik pada dentin dalam etiologi NCCL.
REFERENSI
1.
Miller WD.
Experiments and observations on the wasting of tooth tissue variously
designated as erosion, abrasion, chemical abrasion, denudation, etc. Dental
Cosmos 1907;XLIX(1):1–23;XLIX(2):109–124;XLIX(3): 225–47.
2.
Black GV. A
work on operative dentistry. Pathology of hard tissues of the teeth. Vol. 1.
1st ed. Chicago (IL): Medico-Dental Publishing; 1907, pp. 39–59.
3.
Saxton CA,
Cowell CR. Clinical investigation of the effects of dentifrices on dentin wear
at the cementoenamel junction. J Am Dent Assoc 1981;102:38–43.
4.
Volpe R, Mooney
R, Zumbrunnen C, et al. A long term clinical study evaluating the effect of two
dentifrices on oral tissue. J Periodontol 1975;46(2):113–8.
5.
Hefferen JJ. A
laboratory method for assessment of dentifrice abrasivitiy. J Dent Res
1976;54(4): 563–73.
6.
Radentz WH,
Barnes GP, Cutright DE. A survey of factors possibly associated with cervical
abrasion of tooth surfaces. J Periodontol 1976;47(3):148–54.
7.
Sanges G,
Gjermo P. Prevalence of oral soft and hard tissue lesions related to mechanical
tooth cleansing procedures. Community Dent Oral Epidemiol 1976;4:77–83.
8.
Saxton CA,
Cowell CR. Clinical investigation of the effects of dentifrices on dentin wear
at the cementoenamel junction. J Am Dent Assoc 1981;102(1):1109–18.
9.
Ingram CS.
Cervical abrasion. J N Z Soc Periodontol 1982;54(11):11–2.
10. Nordbo H, Skogedal O. The rate of cervical abrasion
in dental students. Acta Odontol Scand 1982;40: 45–7.
11. Smith BGN, Knight JK. A comparison of paterns of
tooth wear with aetiological factors. Br Dent J 1984;157:16–9.
12. Hand JS, Hunt RJ, Reinhardt JW. The prevalence and
treatment implications of cervical abrasion in the elderly. Gerodontics
1986;2(5):167–70.
13. Hong FL, Nu ZY, Xie XM. Clinical classification and
therapeutic design of dental cervical abrasion. Gerodontics 1988;4(2):101–3.
14. Bergstron J, Eliasson S. Cervical abrasion in
relation to toothbrushing and periodontal health. Scand J Dent Res
1988;96(5):405–11.
15. Kuroiwa M, Kodaka T, Kuroiwa M. Microstructural
changes of human enamel surfaces by brushing with and without dentifrice
containing abrasive. Caries Res 1993;27(1):1–8.
16. Addy M, Hunter ML. Can tooth brushing damage your
health? Effects on oral and dental tissues. Int Dent J 2003;53(Suppl.
3):177–86.
17. Litonjua LA, Andreana S, Cohen RE. Toothbrush
abrasions and noncarious cervical lesions: evolving concepts. Compend Contin
Educ Dent 2005;26: 767–76.
18. Bjorn H, Lindhe J. Abrasion of dentine by toothbrush
and dentifrice. Odontol Revy 1996;17:17–27.
19. Abrahamsen TC. The worn dentition pathognomonic
patterns of abrasion and erosion. Int Dent J 2005;55:268–76.
20. Dzakovich JJ, Oslak RR. In vitro reproduction of
noncarious cervical lesions. J Prosthet Dent 2008;100(1):1–10.
21. Bartlett D. Etiology and prevention of acid erosion.
Compend Contin Educ Dent 2009;30(8):616–20.
22. Stephan RM. Changes in the hydrogen—ion
concentration on tooth surfaces and in carious lesions. J Am Dent Assoc
1940;27:718–23.
23. Barron RP, Carmichael RP, Marcon MA, Sandor GK.
Dental erosion in gastro esophageal reflux disease. J Can Dent Assoc
2003;69(2):84–9.
24. Dawes C. What is the critical pH and why does a
tooth dissolve in acid? J Can Dent Assoc 2003;69(11):722–4.
25. Grippo JO. Abfraction: a new classification of hard
tissue lesions of teeth. J Esthet Dent 1991;3:14–8.
26. Grippo JO, Simring M. Dental erosion revisited. J Am
Dent Assoc 1995;126(5):619–30.
27. Grippo JO, Simring M, Schreiner S. Attrition,
abrasion, corrosion and abfraction revisited. J Am Dent Assoc 2004;135:1109–18.
28. Palamara D, Palamara JEA, Tyas MJ, et al. Effect of
stress on acid dissolution of enamel. Dent Mater 2001;17(2):109–15.
29. Staninec M, Nalla RK, Hilton JF, et al. Dentin
erosion simulation by cantilever beam fatigue and pH change. J Dent Res
2005;84(4):371–5.
30. Mishra P, Palamara JEA, Tyas MJ, Burrow MF. Effects
of loading and pH on the subsurface demineralization of dentin beams. Calcif
Tissue Int 2006;79:273–7.
31. Mishra P, Palamara JEA, Tyas MJ, Burrow MF. Effects
of static loading of dentin beams at various pH levels. Calcif Tissue Int
2006;79:416–21.
32. Schlueter N, Hardt M, Klimek J, Ganss C. Influence
of the digestive enzymes trypsin and pepsin in vitro on the progression of
erosion in dentine. Arch Oral Biol 2010;55(4):294–99.
33. Hara AT, Ando M, Cury JA, et al. Influence of the
organi matrix on root dentine erosion by citric acid. Caries Res
2005;39:134–38.
34. Kleter GA, Damen JJM, Everts V, Niehof J. The
influence of the organic matrix on demineralization of bovine root dentin in
vitro. J Dent Res 1994;73(9):1523–29.
35. Shamos MH, Lavine LS. Physical bases for bioelectric
effects in mineralized tissues. Clin Orthop 1964;34:177–88.
36. Fukada E, Yasuda I. On the piezoelectric effect of
bone. J of the Phys Soc of Japan 1957;12(10):1158–62.
37. Braden M, Bairstow A, Beider I, Ritter B. Electrical
and piezoelectric properties of dental hard tissues. Nature 1966;21:1565–66.
38. Grippo JO, Masi JV. The role of stress corrosion and
piezoelectricity in the formation of root caries. Proceedings of the Thirteenth
Annual Northeast Bioengineering Conference. Vol. 1. Kenneth R, Foster PE,
Ph.D., editors. Philadelphia (PA): University of Pennsylvania; 1987.
39. Marino AA, Gross BD. Piezoelectricity in cementum,
dentine and bone. Arch Oral Biol 1989;34(7):507–9.
40. Grippo JO, Masi JV. Role of Biodental Engineering
Factors (BEF) in the etiology of root caries. J Esthet Dent 1991;3(2):71–6.
41. Lehman ML, Meyer ML. Relationship of dental caries
and stress concentrations in teeth as revealed by photoelastic tests. J Dent
Res 1966;45:706–14.
42. Simring M. Occlusion: paradox or panacea. Alpha
Omegan Scientific Issue 1980;73:34–9.
43. Kuroe T, Caputo AA, Ohata N, Itoh H. Biomechanical
effects of cervical lesions and restoration on periodontally compromised teeth.
Quintessence Int 2001;32:111–8.
44. Mair LH. Wear in dentistry—current terminology. J
Dent 1992;20:140–4.
45. Mair LH. Understanding wear in dentistry. Compend
Contin Educ Dent 1999;20(1):19–30.
46. Mair LH. Wear in the mouth: the tribological
dimension. In: Addy M, Embery G, Edgar WM, Orchardson R, editors. Tooth wear
and sensitivity. London: Martin Dunitz Ltd.; 2000, 181–8.
47. Lussi A. Dental erosion. Monogr Oral Sci
2000;20:1–66. Chapter 6, Table 1.
48. Evans LV. Biofilms: recent advances in their study
and control. Boca Raton (FL): CRC Press Inc.; 2000.
49. Joss J, Surman S, Walker J. Medical biofilms:
detection, prevention and control. Vol. 2. West Sussex, England: J. Wiley
Press; 2003, pp. 173–216.
50. Nizel A. Nutrition in preventive dentistry: science
and practice, 1st ed. Philadelphia (PA): WB Saunders; 1972, pp. 27–9.
51. Videla HA. Manual of biocorrosion. Boca Raton (FL):
CRC Press, Inc.; 1996.
52. Pontefract H, Hughes J, Kemp K, et al. The erosive
effects of some mouthrinses on enamel. A study in situ. J Clin Periodontol
2001;28(4):319–24.
53. Korber KH. Die elastiche deformierung menschlicher
zahne. Dtsch Zahnarztl Z 1962;17:691–4.
54. Grosskopf G. Untersuchungen zur entstehung der
sogenannten keilformigegen defekte am organum dentale (thesis). Frankfurt/Main,
Germany; 1967.
55. Lebau GI. The primary cause and prevention of dental
caries. Bull Union Cty Dent Soc 1968;47(5):11–3.
56. Lebau GI. The primary cause and prevention of dental
caries. Bull Union Cty Dent Soc 1968;47(6):13–6.
57. Spranger H, Haim G. Zur analyse hochfrequenter
schwingungen der hartsubstanz menshlicher zahne. Stoma (Heidelb)
1969;22:145–52.
58. Lukas D, Spranger H, Lukas D, Spranger H.
Experimentelle Untersuchungen uber die Auswirkungenuntershiedlich gemessener
Gelenkbahn und Benetwinkel auf die Horizontalbelastung des Zahnes bie
definierten Unterkiefer Lateralbewegungen. Dtsch Zahnarztl Z 1973;28:755–8.
59. Spranger H, Weber G, Kung YS. Untersuchungern die
Atitologie, Pathogeneses un therapiekonsequenzen der zervialaen
Zahnartsubstanzdefekte. Der Hessiche Zahnartz Separatum Otto-Loos Preis
1973;328–41.
60. Thresher RW, Saito GE. The stress analysis of teeth.
J Biomech 1973;6:443–9.
61. Selna LG, Shillingburg HT Jr, Kerr PA. Finite
element analysis of dental structures-axisymmetric and plane stress
idealizations. J Biomed Mater Res 1975;9:237–54.
62. Yettram AKM, Wright KWL, Pickard HM. Finite element
analysis of the crowns of normal and restored
teeth. J Dent Res 1976;55(6):1004–11.
63. Goel VK, Khera SC, Ralston JL, Chang KH. Stresses at
the dentino enamel junction of human teeth. A finite element investigation. J
Prosthet Dent 1991;66(4):451–9.
64. McCoy G. On the longevity of teeth. Oral Implantol
1983;11(2):248–67.
65. Lee WC, Eakle WS. Possible role of tensile stress in
the etiology of cervical erosive lesions of teeth. J Prosthet Dent
1984;53(3):374–79.
66. Ott RW, Proschel P. Zur Ateiologieedes keilformige
Defekte. Ein funktions-orientierter epidemiologischer un experimenteller
Beitrag. Dtsch Zahnarztl Z 1985;40:1223–7.
67. Levitch L, Bader DA, Shugars DA, Heymann HO.
Noncarious cervical lesions. J Dent 1994;22:195–207.
68. Spranger H. Investigation into the genesis of
angular lesions at the cervical region of teeth. Quintessence Int
1995;26(2):149–54.
69. Owens BM, Gallien GS. Noncarious dental “abfraction”
lesions in an aging population. Compend Contin Educ Dent 1995;16(6):552–62.
70. Khan F, Young WG, Shahabi S, Daley TJ. Dental
cervical lesions associated with occlusal erosion and attrition. Aust Dent J
1999;44(4):176–86.
71. Lee WC, Eakle WS. Stress-induced cervical lesions: review
of advances in the past 10 years. J Prosthet Dent 1996;75(5):487–94 c.f. Fig.
3.
72. Rees JS. The role of cuspal flexure in the
development of abfraction lesions: a finite element study. Eur J Oral Sci
1998;106:1028–32.
73. Rees JS, Jacobsen PH. The effect of cuspal flexure
on a buccal Class V restoration: a finite element study. J Dent 1998;26:361–7.
74. Rees JS, Hammadeh M, Jagger DC. Abfraction lesion
formation in maxillary incisors, canines, and premolars: a finite element
study. Eur J Oral Sci 2003;111:149–54.
75. Rees JS, Hammadeh M. Undermining of enamel as a
mechanisms of abfraction lesion formation a finite element study. Eur J Oral
Sci 2004;112: 347–52.
76. Rees JS. The effect of variation in occlusal loading
on the development of abfraction lesions: a finite element study. J Oral
Rehabil 2002;29:188–93.
77. Noma N, Kakigawa H, Kozono Y, Yokota M. Cementum
crack formation by repeated loading in vitro. J Periodontol 2007;78:764–9.
78. McCoy G. Dental compression syndrome: a new look at
an old disease. J Oral Implantol 1999;25:35–49.
79. Lussi A, Schaffner M. Progression of and risk
factors for dental erosion and wedge-shaped defects over a 6-yearperiod. Caries
Res 2000;34:182–7.
80. Pintado MR, De Long R, Ko CC, et al. Correlation of
noncarious cervical lesion size and occlusal wear in a single adult over a
13-year time span. J Prosthet Dent 2000;84:436–43.
81. Piotrowski B, Gillette WB, Hancock EB. Examining the
prevalence and characteristics of abfraction like lesions in a population of US
Veterans. J Am Dent Assoc 2001;132:1694–701.
82. Rees JS, Jagger DC. Abfraction lesions: myth or
reality? J Esthet Restor Dent 2003;15:263–71.
83. Oginni OA, Olusile AO, Udoye CI. Non-carious
cervical lesions in a Nigerian population: abrasion or abfraction? Int Dent J
2003;53:275–9.
84. Litonjua LA, Bush PJ, Andreana S, et al. Noncarious
cervical lesions and abfractions: a re-evaluation. J Am Dent Assoc
2003;134(7):845–50.
85. Litonjua LA, Bush PJ, Andreana S, et al. Effects of
occlusal load cervical lesions. J Oral Rehabil 2004;31:225–32.
86. Estafan A, Funari PC, Goldstein G, Hittelman EL. In
vivo correlation of noncarious cervical lesions and occlusal wear. J Prosthet
Dent 2005;93:221–6.
87. Pagoraro LF, Scolaro JM, Conti PC, et al. Noncarious
cervical lesions in adults: prevalence and occlusal aspects. J Am Dent Assoc 2005;136:1694–700.
88. Bartlett DW, Shah P. A critical review of
non-carious cervical (wear) lesions and the role of abfraction, erosion, and
abrasion. J Dent Res 2006;85(4): 306–12.
89. Faye B, Kane AW, Sarr M, et al. Noncarious cervical
lesions among a non-toothbrushing population with Hansen’s disease (leprosy):
initial finds. Quintessence Int 2006;37:613–9.
90. Rees JS. The biomechanics of abfraction. Proc Inst
Mech Eng [H] 2006;220:69–80.
91. Wood I, Jawad Z, Paisley C, Brunton P. Non-carious
cervical tooth surface loss: a literature review. J Dent 2008;36(10):759–66.
92. Michael JA, Townsend GC, Greenwood LF, Kaidonis JA.
Abfraction: separating fact from fiction. Aust Dent J 2009;54:2–8.
93. Hanaoka K, Nagao D, Mitsui K, et al. A biomechanical
approach to the etiology and treatment of noncarious dental cervical lesions.
Bull Kanagawa Dent Coll 1998;26(2):103–11.
94. Hanaoka K, Mitsuhashi A, Ebihara K, et al.
Occlusionand the non-carious cervical lesion. Bull Kanagawa DentColl
2001;29(2):121–9.
95. Lambrechts P, Braem M, Vanherele G. Evaluation
ofclinical performance for posterior composite resins anddentine adhesives.
Oper Dent 1987;12:53–78.
96. Heymann HO, Sturdevant JR, Bayne SC, et al.Examining
tooth flexure effects on cervical restorations:a two year clinical study. J Am
Dent Assoc 1991;122:41–7.
97. Onal B, Pamir T. The two-year clinical performance
ofesthetic restorative materials in noncarious cervical lesions. J Am Dent
Assoc 2005;136:1547–55.
98. Francisconi LF, Graeff MSZ, Martins LDM, et al. The
effects of occlusal loading on the margins of cervical restorations. J Am Dent
Assoc 2009;140(10):1275–82.
99. Sognnaes RF, Wolcott RB, Xhonga FA. Dental erosion
I. Erosion—like patterns occurring in association with other dental conditions.
J Am Dent Assoc 1972;84(3):571–6.
100. Caputo AA, Standlee JP. Biomechanics of clinical
dentistry. Hanover Park (IL): Quintessence Publishing; 1987, p. 19.
101. Sessle BJ. Mastication, swallowing and related
activities. In: Roth GI, Calmes R, editors. Oral biology. St. Louis (MO): C. V.
Mosby Company; 1981, pp. 51–89 (Chapter 3).
102. Anusavice K. Phillip’s science of dental materials,
11th ed. Philadelphia (PA): W. B. Saunders Publishing; 1996, pp. 90–1.
103. Shore NA. Temporomandibular dysfunction and occlusal
equilibration, 2nd ed. Philadelphia (PA): Lippincott; 1976, p. 11.
104. Gibbs CH, Mahan PE, Lundeen HC, et al. Occlusal
forces during chewing and swallowing as measured by sound transmission. J
Prosthet Dent 1981;46(4):443–49.
105. Mayhew RB, Jesseee SA, Martin RE. Associations of
occlusal, periodontal, and dietary factors with the presence of non-carious
cervical dental lesions. Am J Dent 1998;11:29–32.
106. Zaslansky P, Weiner S. Design strategies of human
teeth: biomechanical adaptations. In: Epple M, Bauerlein E, editors. Handbook
of biomineralization. Weinheim: WILEY.VCH Verlag GambH & Co. KgaA; 2007,
pp. 183–202 (Chapter 13).
107. Ritter AV, Grippo JO, Coleman TA, Morgan ME.
Prevalence of carious and non-carious cervical lesions in archaeological
populations from North America and Europe. J Esthet Restor Dent
2009;21(5):324–35.
108. Young WG, Khan F. Sites of dental erosion are
saliva-dependent. J Oral Rehabil 2002;29:35–43.
109. Richman C. Is gingival recession a consequence of an
orthodontic tooth size and/or tooth position discrepancy? “A paradigm shift.”
Compend Contin Educ Dent 2010;6 (available online).
110. Davis MW. Factors associated with
cervico-abfraction. Literature review and pilot study with periodontal and
restorative considerations. J Cosmetic Dent 2002;4:58–76.
111. Aubry M, Mafart B, Donat B, Brau JJ. Brief
communication: study of non-carious cervical tooth lesions in samples of
prehistoric, historic and modern populations from the south of France. Am J
Phys Anthropol 2003;121:10–4.
112. Jenkins GN. Salivary effects on plaque pH. In:
Kleinberg I, Ellison SA, Mandel ID, editors. Saliva and dental caries. New York
(NY): Information Retrieval, Inc.; 1979, pp. 307–22 (Microbiology Abstracts).
113. Dawes C. Physiological factors affecting salivary
flow rate, oral sugar clearance and the sensation of dry mouth in man. J Dent
Res 1987;66:(Spec. Iss.) 648–53.
114. Dawes C. Factors influencing salivary flow rate and
composition. In: British Dental Assoc., London, editor. Saliva and oral health,
3rd ed. London: BDA; 2004, pp. 32–49 (Chapter 3).
0 komentar:
Posting Komentar